
EVEN A HUNDRED
YEAR.
Karya Rafael
Stefan Lawalata.
Sudah menjadi
ritual bagi diriku untuk mampir di kafe kecil di dekat rumahku. Sebenarnya,
kafe itu terletak di antara rumah dan SMPku. Sambil singgah demi menikmati kopi
hitam manis yang menjadi menu spesial di sana, aku sering bernostalgia pada
kenangan-kenangan ketika aku mengenyam pendidikan di SMP. Setiap pulang, aku
dan beberapa temanku selalu mampir kemari. Sejak saat itulah, aku mulai
menikmati kopi hitam manis ini. Dan seingatku, sejak saat itu juga, aku bertemu
dengan cinta pertamaku.
Cinta pertama
semanis segelas kopi hitam yang kunikmati. Walau dirinya seputih susu, wajahnya
tak pernah sedikit pun hilang dari benakku.
Bergonta-ganti
kekasih, hingga sekarang melajang, sekalipun tak pernah kulupakan dirinya.
Siswi kelas 7B
kala itu. Jessica Vania Widjaja. Aku tak pernah melupakan namanya. Saat itu
umurku baru menginjak 15 tahun.
Tiga tahun
kemudian, yaitu sekarang, aku masih tetap mengingatnya. Mungkin dengan singgah
dan menikmati segelas kopi hitam di kafe ini dapat mengobati kerinduanku
kepadanya yang belum pernah kujumpa sejak kami lulus dari SMP.
Namun hari itu,
Setelah tiga
tahun menanti,
Akhirnya takdir
tak terduga telah menanti.
''Rafael kan?''
tanya suara merdu yang tidak asing lagi bagi telingaku.
Aku yang
setengah mengantuk; meski telah menghabiskan segelas kopi itu, segera terbangun
dan menoleh ke sumber suara itu.
''Je...
Jeje...???'' tanyaku terkejut.
''Aku kira kamu
udah lupa sama aku... ternyata enggak hehe,'' jawabnya.
Aku benar-benar
terkejut. Dia, yang berdiri di hadapanku, memang benar-benar Jeje, maksudku
Jessica Vania Widjaja. Cinta pertama yang kuceritakan tadi!
''Masih suka ke
sini ya?'' tanyanya sambil duduk di sebelahku.
''I.. iya dari
dulu...'' jawabku terbata-bata, masih terkejut.
''Kok kamu kaya
ngeliat hantu aja sih?'' tanyanya tertawa.
''Kaget aja. Gak
nyangka bisa ketemu di sini,'' jawabku. ''Lima tahun ya.''
''Lebay kamu!
Emangnya kamu gak pernah nonton tv ya?'' tanyanya sambil memanggil pelayan.
''Nonton kok,
kenapa?''
''Aku kan sering
muncul di tv, atau... hehehe mungkin aku yang lebay, bukan artis aja kok...''
sahutnya dengan wajah yang menggemaskan.
''Aku kurang
mengikuti perkembangan dunia hiburan. Oh ya, bukannya kamu tergabung dengan
grup idol itu... hem... JKT 48 ya?'' tanyaku.
''He-eh,''
jawabnya mengangguk. ''Kurang update ya kamu!''
''Begitulah, aku
sibuk sih,'' jawabku.
''Mau pesan apa
mba?'' tanya pelayan toko yang menghampiri kami.
Jeje masih
berpikir sambil melihat menu di tangannya. Sebelum ia sempat menjawab,
''Cappucino
dingin,'' jawabku. ''Dengan es berjumlah genap.''
''Ihhh kok kamu
tau sih? Masih inget aja!''
Aku tak pernah
melupakan minuman favoritnya yang selalu ia pesan jika pergi kemari.
''Insting...''
jawabku.
Jeje
memperhatikanku dengan tajam seolah tak percaya.
''Kamu stalker
ya?'' tanya dia.
''.... dan
keberuntungan....'' tambahku. Ia tertawa mendengarnya.
Setelah
cappucino favoritnya bergabung di meja kami, aku dan Jeje terus berbincang
mengenai masa sekolah kami dulu. Ia dan aku mulai berkenalan ketika kami
tergabung dalam grup vokal di SMP kami. Ia adik kelas dua tahun di bawahku saat
itu. Tampaknya sejak saat itulah; aku mulai jatuh cinta kepadanya. Melalui
suara indahnya.
''Cocok deh kalo
begitu,'' kataku.
''Cocok
gimana?'' tanyanya.
''Yah, kamu kan
suka nyanyi, pas maksudku sama kegiatanmu yang sekarang...''
''Iya dong!
Hehehe, lagian hobiku emang nyanyi. Soalnya, nyanyi itu bisa ngungkapin
perasaan kita lho!''
''Benarkah?''
''Kamu gak tau?
Kalo aku sedih... aku pasti nyanyi, kalo lagi seneng juga. Cuma lagunya yang
berubah.''
''Kalo lagi
jatuh cinta?'' tanyaku.
Jeje tersedak.
Ia langsung terbatuk-batuk. Aku membantunya dengan memberikan saputanganku
padanya.
''Maaf uhuk,''
katanya.
''Aku yang
harusnya minta maaf... kamu gak apa-apa?''
Ia tersenyum.
''I'm fine! How about you? Hihihi...''
''Never been
better....'' jawabku tersenyum lega. Ia cuma tersedak sedikit saja.
Lebih baik ganti
topik.
''Terus... kamu
sekarang kuliah atau kerja?''
''Kerja,''
jawabku.
''Di mana?''
''Hem... jadi
supir.''
''Supir?
Kayaknya seru!''
''Tentu. Sama
seperti menyanyi. Ada kalanya aku menyetir dengan perasaan yang berbeda-beda.
Sedih, senang... dan jatuh cinta...''
''Daritadi
cinta-cintaan mulu nih huuuu.''
Aku
menyembunyikan ID siswa penerbang milikku. Aku pikir mungkin bukan saat yang
tepat untuk memberitahukan kepadanya bahwa kini aku telah menjadi seorang siswa
penerbang.
Salah satu
motivasiku menjadi seperti sekarang adalah ketika aku mendengar Jeje berbicara
kepada temannya dulu :
''Aku harap
jodohku nanti adalah seorang pilot! Supaya ia bisa membawaku terbang ke
angkasa!''
Mungkin ia sudah
melupakannya.
Tapi, aku tak
pernah melupakan saat di mana ia menyanyikan lagu : I will fly into your
arms... and be with you, till the end of time...
Entah kenapa,
aku merasa bahwa lagu itu ditunjukkan untuk diriku.
Mungkin aku
ge-er.
''Kamu mau
nonton theater enggak?'' tanya dia kemudian.
''Teather?
Teather apa?''
''Ini nih!''
jawabnya sambil menyodorkan selembar tiket teather JKT 48 kepadaku.
''Konser JKT
48?'' tanyaku.
''Spesial event.
Mau gak? Aku nyanyi solo lho di sini...'' katanya.
''Aku kurang
menyukai JKT 48,'' jawabku.
''Yahhhh...
sayang sekali,'' jawabnya sambil cemberut. ''Padahal lagunya bagus.''
''Lagu baru?''
''Iya, judulnya
Even A Hundred Year, aku sendiri lho yang menulisnya!'' ucapnya bangga.
''Sepertinya
bagus...'' ucapku.
''Enak aja!
Pasti bagus! Hehehe.''
Jeje
mengizinkanku untuk mendengarkan demo lagu baru yang ia tulis sendiri. Ia
sendiri jugalah yang menyanyikannya. Even A Hundred Year.
Suara yang indah
melantun syahdu dalam tiap tembang penyejuk. Hatiku bergetar mendengar
nada-nada pengguncang jiwa. Begitu meresap dalam jiwa, begitu menusuk hingga ke
hati.
Even A Hundred Year.
Bercerita
tentang penantian seorang wanita yang setia menunggu pria yang dicintainya
untuk pulang, meski pria ini tak pernah menyadari arti penantian si wanita.
Wanita ini terus menunggu meski tak ada harapan untuknya, tak ada kesadaran
dari sang pria.
''Gimana?''
tanyanya setelah lagu selesai diputar.
Aku melepas
headset dan berkata :
''Benarkah kamu
yang menulisnya?''
Ia mengangguk
sambil tersenyum.
''Aku suka,''
jawabku.
''Lalu?''
''Tak ada lalu.
Aku suka. Itu saja.''
''Hemmm yaudah
deh...''
Belum selesai ia
berbicara, dering teleponku berbunyi. Cukup kencang pula.
Jeje tampak
menyadari nada dering dari handphoneku. Aku dapat melihat dari sorot matanya.
''Ah maafkan
aku,'' kataku.
''Ambil
waktumu...'' jawabnya.
Aku segera
mengangkat teleponku. Ternyata dari seorang temanku, yang biasanya curhat
kepadaku.
''Hem...
sekarang waktunya kurang tepat,'' kataku padanya.
Aku harap Jeje
tidak menyadarinya. Nada dering handphoneku adalah Temo demono namida atau
Tangis Kesedihan. Salah satu lagu JKT 48; yang dinyanyikan oleh Jeje dan
Melody.
Aku berbohong.
Aku selalu
mengikuti sepak terjang Jeje dan JKT 48.
Aku selalu
menyanyikan lagu-lagu hits mereka, bahkan aku hafal. Aku bahkan mengidolakan
Jeje. Aku... terlebih dulu mencintainya...
Aku kembali ke
kursiku.
Namun tak
kudapati Jeje di sana. Hanya ada segelas cappucino kosong berdiri di sana.
Apakah ia sudah
pergi?
Aku menemukan
sebuah nota dengan tulisan tangan yang kukenal :
Aku harus segera kembali, produser meneleponku.
Senang bertemu denganmu, lain kali, kita minum
bersama lagi.
-salam manis, Jessica.
Aku tersenyum
membacanya.
Tapi, aku
dikejutkan kembali oleh selembar tiket teather JKT 48 yang ditaruh di bawah
selembar nota tersebut.
Aku
mengambilnya.
Tertulis di sana
:
''Aku menunggumu untuk duduk di barisan paling
depan.''
Air mata
tercucur dari kedua bola mataku. Sedih, senang, terkejut. Semua bercampur
menjadi satu.
Aku pasti
datang.
Aku pasti
menontonmu.
Dan aku akan
menunggumu kini, meski membutuhkan tiga tahun lagi untuk bertemu, meski
membutuhkan seribu tahun.... aku rela membuatmu menyadari arti sejati
mencintaimu.
Selesai.
Author By:
Inspirations by : JejeJKT48.
No comments :
Post a Comment
Leave a Comment...