
MELODI KEMATIAN
Sore itu, ketika hujan lebat tengah mengguyur sebagian besar kota Jakarta. Terlihat sebuah mobil mewah berwarna hitam memasuki areal Rumah Sakit Harapan, tampaknya mobil tersebut tengah membawa penumpang yang sedari tadi berkutat dengan rasa khawatir dan panik.
Para suster telah menunggu, stand by dengan sebuah kursi roda yang nampaknya sudah disiapkan untuk diduduki oleh seorang pasien. Dan benar saja, mobil tersebut memuntahkan seorang laki-laki dan wanita muda yang tengah mengalami pendarahan pada kandungannya. Wanita tersebut langsung dirujuk ke ruang bersalin, sementara sang pria yang tak lain adalah suaminya hanya diperbolehkan mengantar sampai di koridor depan tempat bersalin istrinya.
Setelah sekian jam terbunuh, akhirnya penantian berbuah hasil. Melodi, wanita yang sejak tadi memperjuangkan hidup dan mati tersebut kini dapat bernafas lega. Buah hati yang selama 9 bulan dikandung dengan penuh perjuangan tersebut akhirnya lahir ke dunia dengan jalan sesar. Ini adalah anak yang ketiga dari hasil perkawinan mereka.
Sore itu, ketika hujan lebat tengah mengguyur sebagian besar kota Jakarta. Terlihat sebuah mobil mewah berwarna hitam memasuki areal Rumah Sakit Harapan, tampaknya mobil tersebut tengah membawa penumpang yang sedari tadi berkutat dengan rasa khawatir dan panik.
Para suster telah menunggu, stand by dengan sebuah kursi roda yang nampaknya sudah disiapkan untuk diduduki oleh seorang pasien. Dan benar saja, mobil tersebut memuntahkan seorang laki-laki dan wanita muda yang tengah mengalami pendarahan pada kandungannya. Wanita tersebut langsung dirujuk ke ruang bersalin, sementara sang pria yang tak lain adalah suaminya hanya diperbolehkan mengantar sampai di koridor depan tempat bersalin istrinya.
Setelah sekian jam terbunuh, akhirnya penantian berbuah hasil. Melodi, wanita yang sejak tadi memperjuangkan hidup dan mati tersebut kini dapat bernafas lega. Buah hati yang selama 9 bulan dikandung dengan penuh perjuangan tersebut akhirnya lahir ke dunia dengan jalan sesar. Ini adalah anak yang ketiga dari hasil perkawinan mereka.
Kevin, yang tak lain adalah nama dari pria
itu terlihat masih menunggu. Sudah hampir 3 jam ia menunggu, tapi sama sekali
belum mendengar tangisan bayi. Namun dari kejauhan terlihat pria berpostur agak
tinggi dengan segera mendekati Kevin .
“Selamat Pak Kevin, anak bapak telah lahir dengan selamat. Tapi...” kata seorang pria berjas putih yang sebagian wajahnya ditutupi masker berwarna hijau.
“Tapi kenapa Dok? Lalu bagaimana keadaan istri saya, apa dia baik-baik saja?” sambut pria itu heran sembari mengernyitkan alis.
“Istri bapak baik-baik saja, ya.. bapak bisa lihat sendiri lah. Terlalu berat untuk saya menyampaikannya kepada bapak, dan bapak pun harus tabah menerima kenyataan ini.” sambung sang dokter tersenyum tipis di balik balutan masker, sebelum akhirnya berlalu meninggalkan Kevin yang tertegun dengan tanda tanya besarnya.
Terlihat Melodi terdiam diatas ranjang putih dengan pandangan kosong dan mata sayu.
“Apa yang terjadi pada bayi kita?” tanya Kevin khawatir.
Melodi tetap diam seribu bahasa, pandangannya hanya tertuju pada sebuah box bayi yang ternyata didalamnya terdapat sang buah hati.
“Ayo jawab Melodi, kenapa diam saja?” Kevin semakin geram sambil menggoyangkan kedua lengan istrinya.
“Anak kita Mas. Dari awal ia diangkat dari rahim ini, aku belum mendengar sedikitpun ia menangis.” Jawab Melodi, masih memandangi box dengan tatapan kosong.
“Kau serius?” sambung Kevin menyakinkan.
“Aku tak tahu, mungkin aku yang terlalu berhalusinasi. Atau..”
“TIDAK! Tidak mungkin, aku tidak percaya!” tukas Kevin tak yakin dengan kesaksian istrinya. Jantungnya seakan berhenti sejenak, aliran darah seakan mengalir tak terarah dari arus normalnya.
Suara gemuruh petir disertai hujan yang begitu deras malam itu menyertai peristiwa miris pasangan suami istri tersebut. Dan tak ada yang tau apa yang terjadi setelah malam itu berlalu.
Seorang gadis remaja yang kira-kira umurnya baru menginjak 17 tahun, tengah berlari tunggang-langgang ditengah keramaian pasar malam. Sepertinya ia sedang dikejar oleh Pol PP yang malam itu sedang mengadakan penertiban terhadap gelandangan dan pengemis.
Orang-orang terpostur kekar itu telah berhasil menangkap sebagian dari gelandangan yang biasa mengadu nasib di seputaran Pasar Sengol. Namun, sebagiannya lagi berhasil kabur menuju tempat persembunyian mereka. Biasanya para gelandangan yang berhasil kabur tersebut sudah mahir dan profesional dalam mengantisipasi bahaya razia itu. Tak ayal bila mereka dengan mudah bisa lolos dari sergapan para Satpol PP.
Mobil-mobil besar dengan belasan gepeng di dalamnya telah pergi meninggalkan hiruk pikuknya Pasar Sengol. Terlihat gadis remaja berpenampilan lusuh dengan rambut panjang terurai terdiam sembari menatap belasan teman seperjuangannya yang tertangkap. Memakai topi yang ujungnya diputar 180 derajat ke belakang menambah berandalnya raut gadis yang sebenarnya berperangai polos itu.
Berbekal sebuah gitar kecil, langkah gadis yang biasa dipanggil Jeje ini kian mantap menyisir setapak demi setapak sebuah jalan raya yang terbilang lengang itu. Makhlum, jika sudah memasuki pukul 11 malam, jalanan di Kota Jakarta ini memang sudah sepi. Biasanya yang berlalu-lalang ketika ini hanya gelandangan yang tengah mencari tempat untuk beristirahat dan berlindung dari dinginnya malam yang menusuk.
Sepertinya Jeje telah menemukan tempat tujuannya. Ya, sebuah emperan toko yang cukup luas nyaman untuk berbaring dan memainkan beberapa lagu dengan gitar kecilnya, sembari membunuh rasa takut akan kejamnya kehidupan di dunia. Tak ada yang bisa dipakai untuk membalut tubuh dari dinginnya hawa selain baju tipis yang melekat pada tubuh Jeje . Dengan rasa iba pada diri, gadis itu pun mulai memetik senar-senar tipis bernada ritmis itu. Petikan-petikan itu bernada sendu, pas betul dengan kondisi hidupnya sekarang. Tanpa sadar ia pun mulai terlelap.
“Heh gembel, bangun! Enak saja tidur di depan kios orang, pelangganku pada pergi tuh.. cepat bangun, heh!”
Tiba-tiba Jeje dikejutkan oleh suara ribut-ribut. Jeje membuka mata sembari mengusapnya. Tahu-tahu di depannya sudah berdiri seorang wanita paruh baya dengan raut murka. Dan raut tersebut ditujukan pada Jeje yang telah menumpang tidur di depan kios wanita tersebut.
Seusai membereskan barang bawaannya, Jeje langsung pergi meninggalkan wanita pemarah dengan kiosnya itu.
Pagi ini memang cerah, namun raut Jeje tak pernah sekalipun terlihat cerah. Dalam cerahnya dunia ini, ia masih merasakan redup dalan jiwanya. Dalam terangnya langit pagi ini, masih ada celah gelap di setiap rongga kehidupannya. Semua saling bersinergi membentuk paradoks dalam realita hidup seorang Jeje.
Tak ada yang lebih indah bagi Jeje selain memetik senar-senar ritmis dari gitar kesayangannya itu. Nada-nada indah selalu tercipta dengan alunan harmoni yang spektakuler. Ia tak pernah memberi nama setiap melodi yang ia ciptakan, ia hanya ingin melodi-melodi itu bebas tanpa terikat oleh apa pun dari dalam dirinya.
“Wah, merdu sekali petikan-petikan gitarmu Nak!”
Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara seorang pria yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Bila dilihat dari penampilannya yang menggunakan setelan jas hitam dan sepatu yang mengkilap, sepertinya ia orang yang terpandang dan tentunya kaya.
Jeje melongo menatap pria tersebut, tanpa sepatah kata pun untuk membalas pujian sang pria. Ia hanya bisa tersenyum tipis dan mengangguk : tanda berterimakasih.
“Lho, kok cuma senyum? Siapa namamu, boleh Om tau?” tanya pria itu lagi seolah memaksa karena merasa tak ada respon jawaban.
Karena terdesak, Jeje langsung meraih kertas dan pensil dari dalam tas lusuhnya dan menulis nama “Jessica Vania. Boleh dipanggil Jeje.” pada permukaan kertas putih tersebut. Lalu memperlihatkannya pada pria itu sembari tersenyum lebar.
Pria itu mengernyitkan kening seolah bertanya pada dirinya, “Apa dia bisu?!”
Jeje menurunkan senyum lebarnya ke bentuk awal, ia kebingungan melihat tampang sang pria. Dan pemandangan itu berlangsung sekitar beberapa detik sebelum akhirnya seorang pria lain berpakaian dinas mendatangi pria bersetelan jas hitam tersebut.
“Lapor Pak Kevin, rapat dewan akan segera dimulai. Mohon bapak berkenan mesuk ke dalam mobil untuk menuju gedung DPR.”
Pria berseragam dinas itu, yang ternyata asisten dari Kevin Sipangkar, seorang pengusaha kaya dan sekaligus sebagai seorang pejabat DPR di Jakarta .
“Oh, baik. Sekarang saya menuju ke sana. Tapi, beri saya waktu 3 menit lagi.”
“BaikPak!”
Sebelum pergi Kevin menyempatkan diri untuk pamit pada Jeje. Entah kenapa Kevin merasakan getaran yang tak asing dari diri gadis itu. Seperti ada ikatan batin diantara mereka berdua. Jeje pun merasakan hal itu, tapi ia tak punya keluarga bagaimana mungkin Jeje bisa percaya tentang ikatan batin diantara Kevin dan dirinya.
“Boleh lain kali Om menjumpai kamu di tempat ini lagi Jeje?” tanya Kevin ramah.
“Hemm....”
Jeje hanya mengangguk tanda setuju, karena tak ada yang bisa ia ucapkan selain memperlihatkan bahasa tubuh.
Seiring dengan itu, Kevin tengah bersiap-siap untuk berangkat dengan asistennya. Ia masih sempat melambaikan tangan pada Jeje. Entah mengapa pertemuan singkat itu menjadi pertemuan yang istimewa bagi seorang pejabat DPR yang selalu sibuk berkutat dengan urusan politik dan sosial.
“Sampai jumpa Jeje...”
Jeje turut membalas dengan lambaian tangan.
Berawal dari sebuah petikan gitar. Kevin dan Jeje menjadi sering bertemu semenjak kejadian itu. Mereka terlihat akrab layaknya ayah dan anak. Jeje juga dibelikan baju baru, sepatu baru, tas baru, dan gitar baru yang membuat Jeje makin berbunga-bunga. Selepas bekerja Kevin selalu menyempatkan diri untuk bertemu Jeje.
Taman Kota adalah saksi bisu bertemunya dua insan yang saling berparadoks dalam kehidupan mereka masing-masing. Benar-benar mukjizat Tuhan yang maha sempurna. Mereka sering jalan-jalan bersama, bercerita bersama dan menyanyi bersama dengan iringan gitar Jeje. Hingga tak disadari karisma seorang pemimpin sudah tak nampak lagi pada perangai Kevin, yang ada hanya karisma seorang ayah.
******
“Aku sudah membuang bayi itu!”
“Apa? Apa kau sudah gila Melodi? Itu darah daging kita, tega nian kau seorang ibu berbuat seperti itu! Dimana kau buang anakku? JAWAB!!!”
Kevin tak percaya istrinya akan berbuat sekeji itu. Namun terlambat, bayi itu telah dibuang ketika Kevin tengah bertugas di luar pulau Bali.
“Di TPA. Dan mungkin sekarang dia sudah mati dimakan anjing. Sudahlah, anggap saja aku tidak melahirkan lagi setelah Nabilah dan Ayana : anak pertama dan kedua Melodi.
“Kau itu benar-benar.... aaaagghhhhh!!!!”
Hampir saja tangan Kevin melayang ke pipi kanan Melodi, namun tertahan dan dihempaskan ke arah lain. Kevin tak ingin membuat perkara lebih panjang dengan istrinya yang sudah berjasa membesarkan kedua anaknya hingga mereka berhasil seperti sekarang. Namun, di sisi lain Kevin tidak mungkin melaporkan istrinya ke polisi atas tindakan kriminal pembuangan bayi. Dibalik jabatan tingginya, ia sekeluarga dan rumah sakit yang dulu menjadi saksi bisu kelahiran bayi malang itu menutup rapat-rapat rahasia ini. Dengan uang kerjasama pun berjalan dengan lancar dengan pihak rumah sakit.
*****
Jeje kebingungan melihat Kevin yang tengah hanyut dalam lamunannya. Ia mencoba untuk menyadarkannya dengan menyenggol lengan pria itu.
“Eh Jeje, maaf. Om...”
Kevin tak sadar bahwa barusan flashback dari masa lalunya terputar kembali. Ia teringat dengan putrinya yang dibuang. Kembali ia menatap Jeje yang sedari tadi memperhatikannya.
“Apa mungkin, apa mungkin kau putriku yang hilang itu? Katakan padaku Jeje sayang..” ucap Kevin dalam hati.
“Jika Om boleh tau, siapa orang tuamu? Dan kau tinggal di mana Nak?”
Jeje terdiam. Mulai meraih kertas dan pensil kesayangannya, lalu menulis.
“Saya tidak punya orang tua. Saya tidak punya rumah. Saya hanya punya gitar. Saya lahir dari sampah, mungkin orang tua saya adalah sampah.”
Kata-kata yang polos atau mungkin tidak polos sama sekali bagi Kevin, membuat ia tercengang akan kesaksian Jeje. Bagaimana mungkin ia bisa berkata seperti itu.
Namun di benak Jeje, itu hanya kata-kata biasa yang tak ia tau persis maknanya. Makhlum, Jeje belum sempat mengenyam bangku sekolah selama hidupnya. Tapi Jeje punya semangat yang tinggi untuk belajar, buktinya ia bisa menulis meskipun ada banyak makna yang ia tak mengerti. Bahkan ia tak pernah tau apa itu orang tua, yang ia tahu hanya sampah. Dan mungkin, Jeje juga tidak tahu apa itu sampah. Tak ada bedanya.
Kevin masih terjebak dalam keterkejutannya. Ia mulai memutar balik otak dan ingatannya. Mulai membuka kembali lembaran-lembaran album suram yang telah terkubur rapi oleh kebusukan. Tak lama kemudian ia tersadar. Sadar akan gadis yang ada di depannya itu adalah benar anak kandungnya yang telah lama hilang 17 tahun yang lalu.
“Jeje, mau ya jadi anaknya Om?”
Jeje hening sejenak. Mencoba menyadarkan diri, ia tak bermimpi. Jeje meyakinkan sekali lagi dengan bahasa tubuhnya.
“Benar Jeje, Om serius. Dan sekarang juga kamu akan Om ajak ke rumah Om, gimana? Mau ya?”
Seperti mendapat 2 Joker dan 4 As sekaligus, ini keberuntungan yang sulit dipercaya oleh Jeje.
Jeje mengangguk tanda setuju.
Sungguh ajaib. Dalam hitungan beberapa detik hidup Jeje berubah 360 derajat. Dari meminta sedekah, kini mampu memberi sedekah. Baju lusuhnya berubah seketika menjadi dress putih yang cantik dan mewah. Rambutnya yang kusam tak terawat itu dirombak habis-habisan oleh hairstyles kepercayaan Kevin di salon yang cukup megah dan elite.
Beberapa jam yang lalu Jeje masuk ke salon sebagai Jeje yang kumuh dan lusuh. Namun 2 jam kedepan, keluarlah seorang putri cantik dengan rambut yang telah dismoothing dan wajah yang berbinar-binar. Kini Jeje telah siap memasuki rumah megah.
Kevin dan Jeje akhirnya sampai di rumah kediaman Kevin. Mereka disambut oleh pekarangan yang luas nan asri, dengan kolam renang besar di sisi kanan dan taman yang indah disisi kiri. Tampak dari kaca mobil bola mata Jeje terbelalak dan menyapu seluruh isi pekarangan rumah itu. Bila pekarangannya saja sudah megah begini, lantas bagaimana isi di dalam rumahnya? Batin Jeje bergumam.
Benar saja, rumah Kevin sangat megah dan indah. Ada 4 pilar besar yang terbuat dari bahan marmer menyambut kedatangan mereka. Rumah itu terlihat berkilau, karena 90% bahan luar dari rumah itu adalah bidang-bidang marmer putih yang mahal. Rumah itu tampak elegant berdiri kokoh di depan Jeje.
Jika tadi Jeje telah dimanjakan oleh keadaan rumah yang super mewah itu, kini ia harus terkagum-kagum ria juga dengan fasilitas yang dimiliki rumah tersebut. Dua orang security datang menghadap pada Kevin selaku tuan rumah. Lalu mereka membukakan pintu dan mengawal kedua majikannya memasuki rumah.
“Nah, Jeje. Sekarang ini rumah barumu, dan sekarang Om akan tunjukkan di mana kamarmu.” kata Kevin sembari menuntun Jeje.
“Dan, ini dia kamar barumu. Om harap kamu suka ya Nak? Sekarang Om harus pergi dulu, ada rapat penting yang harus Om hadiri. Baik-baik di sini ya Sayang.”
Setelah menunjukkan kamar pada Jeje, Kevin langsung meninggalkan Jeje dengan kamar barunya itu. Dengan sebuah lambaian tangan oleh kevin dan dibalas pula oleh Jeje, Kevin mengakhiri kebersamaan mereka.
“Siapa gadis itu, Yah?”
Seru seorang wanita paruh baya dari arah belakang Kevin. Semakin lama wanita itu semakin mendekat. Langkah Kevin jadi terhenti mendengar seruan tersebut. Segera ia membalikkan badan.
“Dia anak kita, anak yang telah tega kau buang!” sambut Kevin dengan nada agak tinggi.
“Apa?”
“Ya, dan sekarang dia tinggal bersama kita di sini, di rumah yang berhak ia huni!”
“Ta..tapi, dia sudah mati 17 tahun yang lalu!”
“Belum, buktinya 17 tahun setelah itu aku menemukannya!”
Kevin berlalu meninggalkan Melodi dan tidak melanjutkan pembicaraan serius itu panjang lebar. Sementara Melodi masih terdiam, antara shock dan tak percaya dengan apa yang ia dengar dari mulut Kevin, suaminya.
Dalam waktu yang bersamaan pula, Jeje sedari tadi sudah berdiri di depan pintu kamarnya. Artinya ia letah merekam semua percakapan antara Kevin dan Melodi dalam memorinya yang benar-benar kosong. Butiran bening mulai menitik dan membasahi pipi mulusnya. Dadanya terasa sesak dan jantungnya terasa dihujam belati yang sangat tajam. Jeje lemas.
Genap seminggu sudah Jeje menjalani hari-hari bak seorang putri kerajaan. Walaupun butuh sedikit adaptasi, namun kehadiran Kevin yang selalu menemaninya ditengah kesibukan-kesibukan Kevin yang padat membuat Jeje semakin kerasan tinggal di rumah tersebut.
“Jeje mau sekolah?”
Pertanyaan singkat itu membuat Jeje agak sedikit kaget dan ada rasa gembira di dalamnya. Seketika Jeje mengangguk tanda setuju.
Meskipun Jeje dibesarkan dalam kerasnya kehidupan jalan, tetapi itu tak membuat niatnya surut untuk menuntut ilmu. Selama di jalan ia banyak belajar dari murid-murid sekolahan yang sesekali menyempatkan waktu untuk mengajarinya membaca dan menulis. Mata tak ayal, perlahan Jeje semakin pintar. Dan kini ia siap menantang dirinya untuk mengenyam bangku sekolah.
Karena daya nalar Jeje yang cukup baik untuk menangkap pelajaran, Kevin tidak menyekolahkannya di SLB melainkan di sekolah biasa seperti anak-anak normal lainnya. Dan tak tanggung-tanggung, SMA negeri yang berpredikat RSBI pun menjadi pilihannya untuk Kevin. Kevin yakin Jeje mampu dan bahkan lebih mampu melebihi kelebihan anak lainnya di sekolah itu.
“Terimakasih Om.”
Kevin tersenyum sembari memperlihatkan kata-kata yang ditulis pada permukaan kertas.
Kevin hanya membalas dengan sesungging senyum dibibirnya.
Kevin terduduk di sebuah ruangan. Matanya terus memandang serius pada seorang wanita yang tengah berbicara dihadapannya. Tanpa mengurangi sedikit rasa hormat, wanita itu berbicara panjang lebar mengenai Jeje, anaknya.
“Sepertinya bapak harus segera merujuk Jeje pada psikiater ahli.”
“Maksud ibu?”
“Saya tidak tahu dengan cara apa saya harus memberitahu hal ini pada bapak. Tapi bapak tetap harus tahu.”
“Apa yang sebenarnya terjadi?” Kevin makin penasaran.
“Kemarin kali kelima Jeje masuk BK atas kesalahan yang sama. Dua diantara korban Jeje, sekarang tengah menjalani perawatan di rumah sakit. Namun tadi pagi kami baru mendapat kabar bahwa salah satu dari mereka meninggal dunia dengan luka yang cukup parah di kepalanya.”
“Ya Tuhan, berita buruk macam apa ini!”
Seru Kevin, tak percaya dengan apa yang barusan ia simak. Dan sekaligus tak percaya bahwa seorang Jeje yang polos mampu melakukan hal tersebut.
“Maaf Pak, seburuk apa pun berita ini bapak tetap harus mengetahuinya. Kami juga tak percaya dengan hal ini. Jeje seorang anak berprestasi, ia sempat menjuarai beberapa olimpiade dalam ajang OSN. Namun sejak sikapnya berubah beberapa bulan yang lalu, kami menjadi ngeri dan sekaligus shock olehnya.”
“Lalu, mengapa tak ibu ceritakan dari dulu masalah ini pada saya?”
“Awalnya memang seperti itu, tapi kami takut. Kami juga telah sepakat untuk men-dropout Jeje dari sekolah. Kami takut kalau-kalau korban semakin banyak berjatuhan gara-gara satu orang siswa. Namun hasilnya nihil, kami tetap tidak berani mengingat jabatan bapak selaku pejabat penting di kota ini.”
Wanita itu kian berpasrah di depan Kevin. Sudah sekian jam mereka terjebak dalam kondisi yang amat krodit seperti itu.
Sepertinya suasana kelas XII IPA1 mendadak seru pagi itu. Terlihat seorang gadis terduduk dengan darah dikepalanya. Teman-teman lainnya tidak dapat berbuat apa-apa dan hanya bisa berngeri-ngeri ria menyaksikan kejadian itu.
Jeje hanya menatap gadis itu dengan pandangan tajam seolah penuh dendam. Kemudian ia berlalu meninggalkan kelas. Tak ada yang tahu kemana ia pergi.
Suasana mencekam mulai terasa di sekolah terpandang tersebut. Hingga akhirnya awak media berhasil mengabadikannya di dalam sebuah surat kabar. Nama Jeje alias Jessica Vania anak dari pejabat DPR seakan menjadi topik hangat yang tak habis-habis diperbincangkan seluruh media sosial. Kini Jeje telah menjadi buronan para paparazzi.
Menjadi pusat perhatian dalam waktu yang cukup singkat membuat Jeje menjadi semakin tak tenang. Sudah beberapa minggu ia absen dengan alasan yang tidak jelas. Tentu ini hal ini sekaligus menjadi ketenangan tersendiri bagi pihak sekolah yang sudah resah dengan ulah sadis Jeje.
Di sebuah rumah sakit besar di daerah Jakarta.
“Apa sebenarnya yang terjadi pada anak saya, Dok?”
Suara barito Kevin memecah keheningan ruangan yang hampir seluruhnya bernuansa putih tersebut. Terlihat seorang dokter yang tengah serius menganalisis hasil psikotes dari anak Kevin, Jeje.
“Hasil ini sungguh mencengangkan Pak. Belum pernah saya menghadapi kasus semacam ini selama saya bekerja sebagai psikiater.”
“Memangnya hasilnya seperti apa?”
“Baik akan saya jelaskan, namun sebelumnya bapak harus menyiapkan mental yang cukup untuk mendengar hasil riset ini.”
Kevin membalas dengan anggukan mantap.
“Begini, anak bapak mengidap penyakit PSIKOPAT. Psikopat itu sendiri berasal dari kata psyche yang berarti jiwa dan pathos yang berarti penyakit. Pengidapnya sering disebut SOSIOPAT. Namun tidak berarti orang gila. Gejalanya sendiri sering disebut dengan psikopati, pengidapnya seringkali disebut orang gila tanpa gangguan mental. Menurut penelitian sekitar 1% dari total populasi dunia mengidap psikopati. Pengidap ini sulit dideteksi karena sebanyak 80% lebih banyak yang berkeliaran daripada yang mendekam di penjara atau di rumah sakit jiwa, pengidapnya juga sukar disembuhkan. Dalam kasus kriminal, psikopat dikenali sebagai pembunuh, pemerkosa, dan koruptor. Namun, ini hanyalah 15-20 persen dari total psikopat. Selebihnya adalah pribadi yang berpenampilan sempurna, pandai bertutur kata, mempesona, mempunyai daya tarik luar biasa dan menyenangkan. Psikopat biasanya memiliki IQ yang tinggi.”
Psikiater itu memaparkan dengan jelas penyakit yang diidap oleh Jeje. Bak disambar petir di siang bolong. Kevin shock bukan kepalang. Berkali-kali ia menghela nafas panjang, namun tak juga kunjung menenangkan kegundahannya. Kali ini ia benar-benar sangsi untuk mengajak Jeje tinggal di rumah itu. Jeje benar-benar orang sakit.
“Sudah saya katakan dari awal, ini butuh mental yang tinggi. Seseorang biasanya sulit mencerna kenyataan yang amat pahit, yang sabar ya Pak Kevin.”
“ Lalu apa yang harus saya lakukan sekarang terhadap Jeje, Dok?”
“Mengingat ini sangat berbahaya bagi keselamatan bapak sekeluarga, saya sarankan bapak membawanya ke tempat rehabilitasi mental. Bukan rumah sakit jiwa ya Pak! Tapi REHABILITASI MENTAL. Oia, di mana anak bapak sekarang? Saya harap ia tidak berada dekat dengan orang-orang yang dibencinya.”
“Di rumah, Dok.”
Suasana hening sejenak. Dan tiba-tiba....
“Astaga, di rumah saya bilang, Dok??? Maaf, saya harus segera pulang!” kata Kevin, sebelum akhirnya ia melesat secepat kilat menuju rumah.
Sementara sang dokter tampak bingung melihat reaksi Kevin.
Kevin memasuki pekarangan rumahnya dengan tergesa-gesa, seperti sedang dikejar oleh monster yang menyeramkan. Biasanya ada security yang menyambutnya, namun rumah tampak dalam keadaan sepi. Ia masih ingat ketika ia pergi dari rumah dengan meninggalkan Melodi, Ayana, Nabilah dan Jeje di rumah. Sebenarnya ia tahu bahwa hubungan istri dan anak-anaknya tidak terlalu baik dengan Jeje, tapi sebelum ia mendapat berita mencengangkan ini semua tampak baik-baik saja, pikirnya. Sementara Melodi telah berkomitmen bahwa ia tak akan menerima Jeje sebagai anak yang pernah ia lahirkan. Bagi Melodi itu adalah aib bagi orang terpandang seperti dirinya.
BRRRAAKKKKK.......!!!!
Kevin telah memasuki pintu utama rumahnya yang tak terkunci itu. Namun Kevin agak bersemangat membukanya hingga terdengar suara bantingan pintu yang cukup keras.
Semua ruangan di lantai satu telah diperiksa, tak juga ia temui istri dan anak-anaknya. Kevin menaiki tangga dengan langkah yang semakin dipercepat. Dan sampailah ia di lantai dua rumahnya. Di sana ada sebuah kamar mandi besar, 3 kamar, dan sebuah ruang kerja miliknya. Pertama Kevin memeriksa kamar mandi. Dan...
“Aaaaaaaaggghhhhhhh....!!!”
Kevin berteriak histeris menyaksikan pemandangan yang amat mengerikan di depannya. Dua mayat manusia terbujur kaku di tempat yang agak berjauhan. Kedua mayat itu tak lain adalah security yang selalu setia menjaga rumah megah itu. Keduanya tewas dengan luka gorok di leher. Ia tak tahu atau atau mencoba untuk tidak mencari tau siapa gerangan orang sadis yang tega melakukan hal ini.
Dari kejauhan, tepatnya di kamar nomor 3 paling ujung dari tempatnya sekarang terdengar samar-samar suara petikan gitar. Ia seolah tau itu adalah Jeje, namun nada petikan gitar tersebut terasa sangat asing di telinganya. Seharusnya Jeje memainkan melodi yang gembira seperti ketika ia pertama bertemu Jeje yang tengah memainkan gitarnya. Namun yang ia dengar kini adalah melodi menyeramkan seolah sedang berkabung. Mengapa Jeje berubah.
Kevin seolah merasakan penderitaan yang di alami Jeje sejak dulu. Andai saja ia tidak terlalu sibuk dengan urusan kepolitiknnya, pasti Jeje kecil tidak sampai dibuang oleh Melodi. Dan kini semua itu tinggal penyesalan belaka. Dengan langkah gontai Kevin langsung menuju kamar ketiga yang merupakan sumber dari bunyi petikan gitar Jeje atau bukan Jeje yang sebenarnya.
Kevin membuka pintu.
Jiwa Kevin seakan lepas dari badan kasarnya, berkali-kali ia menepuk pipinya ke kanan dan ke kiri. Ini kenyataan.
Pemandangan yang lebih seram dari pada mayat-mayat security itu kian membuatnya tak sanggup untuk berdiri dengan kakinya sendiri. Kevin tumbang dan tertunduk. Ia shock berat.
“Mengapa seperti ini Jeje?”
Kalimat bernada lirih terlontar dari bibir Kevin. Kini ia tak punya lagi cukup tenaga untuk membentak bahkan marah.
Sementara Jeje tak merespon dan masih tetap betah dengan petikan-petikan gitarnya yang menyeramkan.
Suasana tersebut bertahan kira-kira sekitar 1 menit sebelum akhirnya kejutan yang lain mulai menampakkan diri pada Kevin yang ketika itu telah perpasrah diri menerima kejutan selanjutnya.
“Aku hanya mencoba menghantar kepergian mereka dengan lagu kematian ini, dan aku harap mereka tenang di sana. Apa ini salah, ayah?”
Kevin bangkit dari posisinya yang tertunduk, ia menatap lekat pada Jeje dan gitarnya yang berlumuran darah segar. Sementara Jeje menatap tiga wujud yang tak lagi bernyawa itu :Melodi, Nabilah dan Ayana. Kevin pun sekaligus tercengang karena baru pertama kalinya Jeje memanggilnya dengan sebutan AYAH.
“Ka...kau, bisa bicara Jeje?”
Suara parau Kevin tampaknya memaksa Jeje untuk turut menatapnya. Namun Jeje tak lagi melanjutkan perkataannya yang cukup lancar itu.
“Apa motif dibalik semua ini? Mengapa kau berubah seperti ini, Nak?” lanjut Kevin.
Jeje bangkit dan mendekati Kevin. Ia tersenyum sembari menjawab.
“Tidak ada. Aku hanya ingin mereka bahagia dan tidak terlalu lama menderita di dunia ini dengan rasa dengki dalam diri mereka.”
“Ta..tapi, ini terlalu sadis.....”
“Sadis ayah bilang? Mana lebih sadis dibanding dengan membuang anak kandung di tempat pembuangan sampah dan membiarkannya hidup sendiri dikejamnya kehidupan jalanan???”
Kevin terdiam. Nafasnya terasa tertahan sejenak dan jantungnya sakit. Seperti ada peluru nyasar yang mengenai tepat di jantungnya.
“Lagi pula ini tidak sebanding, kehidupanku yang sadis hanya dibayar dengan cairan kental berwarna merah ini. Sungguh tak adil!”
“Lalu, apa yang kau mau sekarang?”
Jeje menatap tajam ke arah kedua bola mata Kevin. Rautnya yang polos kini menjelma menjadi raut kemurkaan yang tak pernah Kevin bayangkan sebelumnya.
Jeje memeluk kevinlalu berkata.
“Aku ingin ayah bahagia.... Di sana, dengan m e r e k a....!”
Hening... . . .
“Selamat Pak Kevin, anak bapak telah lahir dengan selamat. Tapi...” kata seorang pria berjas putih yang sebagian wajahnya ditutupi masker berwarna hijau.
“Tapi kenapa Dok? Lalu bagaimana keadaan istri saya, apa dia baik-baik saja?” sambut pria itu heran sembari mengernyitkan alis.
“Istri bapak baik-baik saja, ya.. bapak bisa lihat sendiri lah. Terlalu berat untuk saya menyampaikannya kepada bapak, dan bapak pun harus tabah menerima kenyataan ini.” sambung sang dokter tersenyum tipis di balik balutan masker, sebelum akhirnya berlalu meninggalkan Kevin yang tertegun dengan tanda tanya besarnya.
Terlihat Melodi terdiam diatas ranjang putih dengan pandangan kosong dan mata sayu.
“Apa yang terjadi pada bayi kita?” tanya Kevin khawatir.
Melodi tetap diam seribu bahasa, pandangannya hanya tertuju pada sebuah box bayi yang ternyata didalamnya terdapat sang buah hati.
“Ayo jawab Melodi, kenapa diam saja?” Kevin semakin geram sambil menggoyangkan kedua lengan istrinya.
“Anak kita Mas. Dari awal ia diangkat dari rahim ini, aku belum mendengar sedikitpun ia menangis.” Jawab Melodi, masih memandangi box dengan tatapan kosong.
“Kau serius?” sambung Kevin menyakinkan.
“Aku tak tahu, mungkin aku yang terlalu berhalusinasi. Atau..”
“TIDAK! Tidak mungkin, aku tidak percaya!” tukas Kevin tak yakin dengan kesaksian istrinya. Jantungnya seakan berhenti sejenak, aliran darah seakan mengalir tak terarah dari arus normalnya.
Suara gemuruh petir disertai hujan yang begitu deras malam itu menyertai peristiwa miris pasangan suami istri tersebut. Dan tak ada yang tau apa yang terjadi setelah malam itu berlalu.
Seorang gadis remaja yang kira-kira umurnya baru menginjak 17 tahun, tengah berlari tunggang-langgang ditengah keramaian pasar malam. Sepertinya ia sedang dikejar oleh Pol PP yang malam itu sedang mengadakan penertiban terhadap gelandangan dan pengemis.
Orang-orang terpostur kekar itu telah berhasil menangkap sebagian dari gelandangan yang biasa mengadu nasib di seputaran Pasar Sengol. Namun, sebagiannya lagi berhasil kabur menuju tempat persembunyian mereka. Biasanya para gelandangan yang berhasil kabur tersebut sudah mahir dan profesional dalam mengantisipasi bahaya razia itu. Tak ayal bila mereka dengan mudah bisa lolos dari sergapan para Satpol PP.
Mobil-mobil besar dengan belasan gepeng di dalamnya telah pergi meninggalkan hiruk pikuknya Pasar Sengol. Terlihat gadis remaja berpenampilan lusuh dengan rambut panjang terurai terdiam sembari menatap belasan teman seperjuangannya yang tertangkap. Memakai topi yang ujungnya diputar 180 derajat ke belakang menambah berandalnya raut gadis yang sebenarnya berperangai polos itu.
Berbekal sebuah gitar kecil, langkah gadis yang biasa dipanggil Jeje ini kian mantap menyisir setapak demi setapak sebuah jalan raya yang terbilang lengang itu. Makhlum, jika sudah memasuki pukul 11 malam, jalanan di Kota Jakarta ini memang sudah sepi. Biasanya yang berlalu-lalang ketika ini hanya gelandangan yang tengah mencari tempat untuk beristirahat dan berlindung dari dinginnya malam yang menusuk.
Sepertinya Jeje telah menemukan tempat tujuannya. Ya, sebuah emperan toko yang cukup luas nyaman untuk berbaring dan memainkan beberapa lagu dengan gitar kecilnya, sembari membunuh rasa takut akan kejamnya kehidupan di dunia. Tak ada yang bisa dipakai untuk membalut tubuh dari dinginnya hawa selain baju tipis yang melekat pada tubuh Jeje . Dengan rasa iba pada diri, gadis itu pun mulai memetik senar-senar tipis bernada ritmis itu. Petikan-petikan itu bernada sendu, pas betul dengan kondisi hidupnya sekarang. Tanpa sadar ia pun mulai terlelap.
“Heh gembel, bangun! Enak saja tidur di depan kios orang, pelangganku pada pergi tuh.. cepat bangun, heh!”
Tiba-tiba Jeje dikejutkan oleh suara ribut-ribut. Jeje membuka mata sembari mengusapnya. Tahu-tahu di depannya sudah berdiri seorang wanita paruh baya dengan raut murka. Dan raut tersebut ditujukan pada Jeje yang telah menumpang tidur di depan kios wanita tersebut.
Seusai membereskan barang bawaannya, Jeje langsung pergi meninggalkan wanita pemarah dengan kiosnya itu.
Pagi ini memang cerah, namun raut Jeje tak pernah sekalipun terlihat cerah. Dalam cerahnya dunia ini, ia masih merasakan redup dalan jiwanya. Dalam terangnya langit pagi ini, masih ada celah gelap di setiap rongga kehidupannya. Semua saling bersinergi membentuk paradoks dalam realita hidup seorang Jeje.
Tak ada yang lebih indah bagi Jeje selain memetik senar-senar ritmis dari gitar kesayangannya itu. Nada-nada indah selalu tercipta dengan alunan harmoni yang spektakuler. Ia tak pernah memberi nama setiap melodi yang ia ciptakan, ia hanya ingin melodi-melodi itu bebas tanpa terikat oleh apa pun dari dalam dirinya.
“Wah, merdu sekali petikan-petikan gitarmu Nak!”
Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara seorang pria yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Bila dilihat dari penampilannya yang menggunakan setelan jas hitam dan sepatu yang mengkilap, sepertinya ia orang yang terpandang dan tentunya kaya.
Jeje melongo menatap pria tersebut, tanpa sepatah kata pun untuk membalas pujian sang pria. Ia hanya bisa tersenyum tipis dan mengangguk : tanda berterimakasih.
“Lho, kok cuma senyum? Siapa namamu, boleh Om tau?” tanya pria itu lagi seolah memaksa karena merasa tak ada respon jawaban.
Karena terdesak, Jeje langsung meraih kertas dan pensil dari dalam tas lusuhnya dan menulis nama “Jessica Vania. Boleh dipanggil Jeje.” pada permukaan kertas putih tersebut. Lalu memperlihatkannya pada pria itu sembari tersenyum lebar.
Pria itu mengernyitkan kening seolah bertanya pada dirinya, “Apa dia bisu?!”
Jeje menurunkan senyum lebarnya ke bentuk awal, ia kebingungan melihat tampang sang pria. Dan pemandangan itu berlangsung sekitar beberapa detik sebelum akhirnya seorang pria lain berpakaian dinas mendatangi pria bersetelan jas hitam tersebut.
“Lapor Pak Kevin, rapat dewan akan segera dimulai. Mohon bapak berkenan mesuk ke dalam mobil untuk menuju gedung DPR.”
Pria berseragam dinas itu, yang ternyata asisten dari Kevin Sipangkar, seorang pengusaha kaya dan sekaligus sebagai seorang pejabat DPR di Jakarta .
“Oh, baik. Sekarang saya menuju ke sana. Tapi, beri saya waktu 3 menit lagi.”
“BaikPak!”
Sebelum pergi Kevin menyempatkan diri untuk pamit pada Jeje. Entah kenapa Kevin merasakan getaran yang tak asing dari diri gadis itu. Seperti ada ikatan batin diantara mereka berdua. Jeje pun merasakan hal itu, tapi ia tak punya keluarga bagaimana mungkin Jeje bisa percaya tentang ikatan batin diantara Kevin dan dirinya.
“Boleh lain kali Om menjumpai kamu di tempat ini lagi Jeje?” tanya Kevin ramah.
“Hemm....”
Jeje hanya mengangguk tanda setuju, karena tak ada yang bisa ia ucapkan selain memperlihatkan bahasa tubuh.
Seiring dengan itu, Kevin tengah bersiap-siap untuk berangkat dengan asistennya. Ia masih sempat melambaikan tangan pada Jeje. Entah mengapa pertemuan singkat itu menjadi pertemuan yang istimewa bagi seorang pejabat DPR yang selalu sibuk berkutat dengan urusan politik dan sosial.
“Sampai jumpa Jeje...”
Jeje turut membalas dengan lambaian tangan.
Berawal dari sebuah petikan gitar. Kevin dan Jeje menjadi sering bertemu semenjak kejadian itu. Mereka terlihat akrab layaknya ayah dan anak. Jeje juga dibelikan baju baru, sepatu baru, tas baru, dan gitar baru yang membuat Jeje makin berbunga-bunga. Selepas bekerja Kevin selalu menyempatkan diri untuk bertemu Jeje.
Taman Kota adalah saksi bisu bertemunya dua insan yang saling berparadoks dalam kehidupan mereka masing-masing. Benar-benar mukjizat Tuhan yang maha sempurna. Mereka sering jalan-jalan bersama, bercerita bersama dan menyanyi bersama dengan iringan gitar Jeje. Hingga tak disadari karisma seorang pemimpin sudah tak nampak lagi pada perangai Kevin, yang ada hanya karisma seorang ayah.
******
“Aku sudah membuang bayi itu!”
“Apa? Apa kau sudah gila Melodi? Itu darah daging kita, tega nian kau seorang ibu berbuat seperti itu! Dimana kau buang anakku? JAWAB!!!”
Kevin tak percaya istrinya akan berbuat sekeji itu. Namun terlambat, bayi itu telah dibuang ketika Kevin tengah bertugas di luar pulau Bali.
“Di TPA. Dan mungkin sekarang dia sudah mati dimakan anjing. Sudahlah, anggap saja aku tidak melahirkan lagi setelah Nabilah dan Ayana : anak pertama dan kedua Melodi.
“Kau itu benar-benar.... aaaagghhhhh!!!!”
Hampir saja tangan Kevin melayang ke pipi kanan Melodi, namun tertahan dan dihempaskan ke arah lain. Kevin tak ingin membuat perkara lebih panjang dengan istrinya yang sudah berjasa membesarkan kedua anaknya hingga mereka berhasil seperti sekarang. Namun, di sisi lain Kevin tidak mungkin melaporkan istrinya ke polisi atas tindakan kriminal pembuangan bayi. Dibalik jabatan tingginya, ia sekeluarga dan rumah sakit yang dulu menjadi saksi bisu kelahiran bayi malang itu menutup rapat-rapat rahasia ini. Dengan uang kerjasama pun berjalan dengan lancar dengan pihak rumah sakit.
*****
Jeje kebingungan melihat Kevin yang tengah hanyut dalam lamunannya. Ia mencoba untuk menyadarkannya dengan menyenggol lengan pria itu.
“Eh Jeje, maaf. Om...”
Kevin tak sadar bahwa barusan flashback dari masa lalunya terputar kembali. Ia teringat dengan putrinya yang dibuang. Kembali ia menatap Jeje yang sedari tadi memperhatikannya.
“Apa mungkin, apa mungkin kau putriku yang hilang itu? Katakan padaku Jeje sayang..” ucap Kevin dalam hati.
“Jika Om boleh tau, siapa orang tuamu? Dan kau tinggal di mana Nak?”
Jeje terdiam. Mulai meraih kertas dan pensil kesayangannya, lalu menulis.
“Saya tidak punya orang tua. Saya tidak punya rumah. Saya hanya punya gitar. Saya lahir dari sampah, mungkin orang tua saya adalah sampah.”
Kata-kata yang polos atau mungkin tidak polos sama sekali bagi Kevin, membuat ia tercengang akan kesaksian Jeje. Bagaimana mungkin ia bisa berkata seperti itu.
Namun di benak Jeje, itu hanya kata-kata biasa yang tak ia tau persis maknanya. Makhlum, Jeje belum sempat mengenyam bangku sekolah selama hidupnya. Tapi Jeje punya semangat yang tinggi untuk belajar, buktinya ia bisa menulis meskipun ada banyak makna yang ia tak mengerti. Bahkan ia tak pernah tau apa itu orang tua, yang ia tahu hanya sampah. Dan mungkin, Jeje juga tidak tahu apa itu sampah. Tak ada bedanya.
Kevin masih terjebak dalam keterkejutannya. Ia mulai memutar balik otak dan ingatannya. Mulai membuka kembali lembaran-lembaran album suram yang telah terkubur rapi oleh kebusukan. Tak lama kemudian ia tersadar. Sadar akan gadis yang ada di depannya itu adalah benar anak kandungnya yang telah lama hilang 17 tahun yang lalu.
“Jeje, mau ya jadi anaknya Om?”
Jeje hening sejenak. Mencoba menyadarkan diri, ia tak bermimpi. Jeje meyakinkan sekali lagi dengan bahasa tubuhnya.
“Benar Jeje, Om serius. Dan sekarang juga kamu akan Om ajak ke rumah Om, gimana? Mau ya?”
Seperti mendapat 2 Joker dan 4 As sekaligus, ini keberuntungan yang sulit dipercaya oleh Jeje.
Jeje mengangguk tanda setuju.
Sungguh ajaib. Dalam hitungan beberapa detik hidup Jeje berubah 360 derajat. Dari meminta sedekah, kini mampu memberi sedekah. Baju lusuhnya berubah seketika menjadi dress putih yang cantik dan mewah. Rambutnya yang kusam tak terawat itu dirombak habis-habisan oleh hairstyles kepercayaan Kevin di salon yang cukup megah dan elite.
Beberapa jam yang lalu Jeje masuk ke salon sebagai Jeje yang kumuh dan lusuh. Namun 2 jam kedepan, keluarlah seorang putri cantik dengan rambut yang telah dismoothing dan wajah yang berbinar-binar. Kini Jeje telah siap memasuki rumah megah.
Kevin dan Jeje akhirnya sampai di rumah kediaman Kevin. Mereka disambut oleh pekarangan yang luas nan asri, dengan kolam renang besar di sisi kanan dan taman yang indah disisi kiri. Tampak dari kaca mobil bola mata Jeje terbelalak dan menyapu seluruh isi pekarangan rumah itu. Bila pekarangannya saja sudah megah begini, lantas bagaimana isi di dalam rumahnya? Batin Jeje bergumam.
Benar saja, rumah Kevin sangat megah dan indah. Ada 4 pilar besar yang terbuat dari bahan marmer menyambut kedatangan mereka. Rumah itu terlihat berkilau, karena 90% bahan luar dari rumah itu adalah bidang-bidang marmer putih yang mahal. Rumah itu tampak elegant berdiri kokoh di depan Jeje.
Jika tadi Jeje telah dimanjakan oleh keadaan rumah yang super mewah itu, kini ia harus terkagum-kagum ria juga dengan fasilitas yang dimiliki rumah tersebut. Dua orang security datang menghadap pada Kevin selaku tuan rumah. Lalu mereka membukakan pintu dan mengawal kedua majikannya memasuki rumah.
“Nah, Jeje. Sekarang ini rumah barumu, dan sekarang Om akan tunjukkan di mana kamarmu.” kata Kevin sembari menuntun Jeje.
“Dan, ini dia kamar barumu. Om harap kamu suka ya Nak? Sekarang Om harus pergi dulu, ada rapat penting yang harus Om hadiri. Baik-baik di sini ya Sayang.”
Setelah menunjukkan kamar pada Jeje, Kevin langsung meninggalkan Jeje dengan kamar barunya itu. Dengan sebuah lambaian tangan oleh kevin dan dibalas pula oleh Jeje, Kevin mengakhiri kebersamaan mereka.
“Siapa gadis itu, Yah?”
Seru seorang wanita paruh baya dari arah belakang Kevin. Semakin lama wanita itu semakin mendekat. Langkah Kevin jadi terhenti mendengar seruan tersebut. Segera ia membalikkan badan.
“Dia anak kita, anak yang telah tega kau buang!” sambut Kevin dengan nada agak tinggi.
“Apa?”
“Ya, dan sekarang dia tinggal bersama kita di sini, di rumah yang berhak ia huni!”
“Ta..tapi, dia sudah mati 17 tahun yang lalu!”
“Belum, buktinya 17 tahun setelah itu aku menemukannya!”
Kevin berlalu meninggalkan Melodi dan tidak melanjutkan pembicaraan serius itu panjang lebar. Sementara Melodi masih terdiam, antara shock dan tak percaya dengan apa yang ia dengar dari mulut Kevin, suaminya.
Dalam waktu yang bersamaan pula, Jeje sedari tadi sudah berdiri di depan pintu kamarnya. Artinya ia letah merekam semua percakapan antara Kevin dan Melodi dalam memorinya yang benar-benar kosong. Butiran bening mulai menitik dan membasahi pipi mulusnya. Dadanya terasa sesak dan jantungnya terasa dihujam belati yang sangat tajam. Jeje lemas.
Genap seminggu sudah Jeje menjalani hari-hari bak seorang putri kerajaan. Walaupun butuh sedikit adaptasi, namun kehadiran Kevin yang selalu menemaninya ditengah kesibukan-kesibukan Kevin yang padat membuat Jeje semakin kerasan tinggal di rumah tersebut.
“Jeje mau sekolah?”
Pertanyaan singkat itu membuat Jeje agak sedikit kaget dan ada rasa gembira di dalamnya. Seketika Jeje mengangguk tanda setuju.
Meskipun Jeje dibesarkan dalam kerasnya kehidupan jalan, tetapi itu tak membuat niatnya surut untuk menuntut ilmu. Selama di jalan ia banyak belajar dari murid-murid sekolahan yang sesekali menyempatkan waktu untuk mengajarinya membaca dan menulis. Mata tak ayal, perlahan Jeje semakin pintar. Dan kini ia siap menantang dirinya untuk mengenyam bangku sekolah.
Karena daya nalar Jeje yang cukup baik untuk menangkap pelajaran, Kevin tidak menyekolahkannya di SLB melainkan di sekolah biasa seperti anak-anak normal lainnya. Dan tak tanggung-tanggung, SMA negeri yang berpredikat RSBI pun menjadi pilihannya untuk Kevin. Kevin yakin Jeje mampu dan bahkan lebih mampu melebihi kelebihan anak lainnya di sekolah itu.
“Terimakasih Om.”
Kevin tersenyum sembari memperlihatkan kata-kata yang ditulis pada permukaan kertas.
Kevin hanya membalas dengan sesungging senyum dibibirnya.
Kevin terduduk di sebuah ruangan. Matanya terus memandang serius pada seorang wanita yang tengah berbicara dihadapannya. Tanpa mengurangi sedikit rasa hormat, wanita itu berbicara panjang lebar mengenai Jeje, anaknya.
“Sepertinya bapak harus segera merujuk Jeje pada psikiater ahli.”
“Maksud ibu?”
“Saya tidak tahu dengan cara apa saya harus memberitahu hal ini pada bapak. Tapi bapak tetap harus tahu.”
“Apa yang sebenarnya terjadi?” Kevin makin penasaran.
“Kemarin kali kelima Jeje masuk BK atas kesalahan yang sama. Dua diantara korban Jeje, sekarang tengah menjalani perawatan di rumah sakit. Namun tadi pagi kami baru mendapat kabar bahwa salah satu dari mereka meninggal dunia dengan luka yang cukup parah di kepalanya.”
“Ya Tuhan, berita buruk macam apa ini!”
Seru Kevin, tak percaya dengan apa yang barusan ia simak. Dan sekaligus tak percaya bahwa seorang Jeje yang polos mampu melakukan hal tersebut.
“Maaf Pak, seburuk apa pun berita ini bapak tetap harus mengetahuinya. Kami juga tak percaya dengan hal ini. Jeje seorang anak berprestasi, ia sempat menjuarai beberapa olimpiade dalam ajang OSN. Namun sejak sikapnya berubah beberapa bulan yang lalu, kami menjadi ngeri dan sekaligus shock olehnya.”
“Lalu, mengapa tak ibu ceritakan dari dulu masalah ini pada saya?”
“Awalnya memang seperti itu, tapi kami takut. Kami juga telah sepakat untuk men-dropout Jeje dari sekolah. Kami takut kalau-kalau korban semakin banyak berjatuhan gara-gara satu orang siswa. Namun hasilnya nihil, kami tetap tidak berani mengingat jabatan bapak selaku pejabat penting di kota ini.”
Wanita itu kian berpasrah di depan Kevin. Sudah sekian jam mereka terjebak dalam kondisi yang amat krodit seperti itu.
Sepertinya suasana kelas XII IPA1 mendadak seru pagi itu. Terlihat seorang gadis terduduk dengan darah dikepalanya. Teman-teman lainnya tidak dapat berbuat apa-apa dan hanya bisa berngeri-ngeri ria menyaksikan kejadian itu.
Jeje hanya menatap gadis itu dengan pandangan tajam seolah penuh dendam. Kemudian ia berlalu meninggalkan kelas. Tak ada yang tahu kemana ia pergi.
Suasana mencekam mulai terasa di sekolah terpandang tersebut. Hingga akhirnya awak media berhasil mengabadikannya di dalam sebuah surat kabar. Nama Jeje alias Jessica Vania anak dari pejabat DPR seakan menjadi topik hangat yang tak habis-habis diperbincangkan seluruh media sosial. Kini Jeje telah menjadi buronan para paparazzi.
Menjadi pusat perhatian dalam waktu yang cukup singkat membuat Jeje menjadi semakin tak tenang. Sudah beberapa minggu ia absen dengan alasan yang tidak jelas. Tentu ini hal ini sekaligus menjadi ketenangan tersendiri bagi pihak sekolah yang sudah resah dengan ulah sadis Jeje.
Di sebuah rumah sakit besar di daerah Jakarta.
“Apa sebenarnya yang terjadi pada anak saya, Dok?”
Suara barito Kevin memecah keheningan ruangan yang hampir seluruhnya bernuansa putih tersebut. Terlihat seorang dokter yang tengah serius menganalisis hasil psikotes dari anak Kevin, Jeje.
“Hasil ini sungguh mencengangkan Pak. Belum pernah saya menghadapi kasus semacam ini selama saya bekerja sebagai psikiater.”
“Memangnya hasilnya seperti apa?”
“Baik akan saya jelaskan, namun sebelumnya bapak harus menyiapkan mental yang cukup untuk mendengar hasil riset ini.”
Kevin membalas dengan anggukan mantap.
“Begini, anak bapak mengidap penyakit PSIKOPAT. Psikopat itu sendiri berasal dari kata psyche yang berarti jiwa dan pathos yang berarti penyakit. Pengidapnya sering disebut SOSIOPAT. Namun tidak berarti orang gila. Gejalanya sendiri sering disebut dengan psikopati, pengidapnya seringkali disebut orang gila tanpa gangguan mental. Menurut penelitian sekitar 1% dari total populasi dunia mengidap psikopati. Pengidap ini sulit dideteksi karena sebanyak 80% lebih banyak yang berkeliaran daripada yang mendekam di penjara atau di rumah sakit jiwa, pengidapnya juga sukar disembuhkan. Dalam kasus kriminal, psikopat dikenali sebagai pembunuh, pemerkosa, dan koruptor. Namun, ini hanyalah 15-20 persen dari total psikopat. Selebihnya adalah pribadi yang berpenampilan sempurna, pandai bertutur kata, mempesona, mempunyai daya tarik luar biasa dan menyenangkan. Psikopat biasanya memiliki IQ yang tinggi.”
Psikiater itu memaparkan dengan jelas penyakit yang diidap oleh Jeje. Bak disambar petir di siang bolong. Kevin shock bukan kepalang. Berkali-kali ia menghela nafas panjang, namun tak juga kunjung menenangkan kegundahannya. Kali ini ia benar-benar sangsi untuk mengajak Jeje tinggal di rumah itu. Jeje benar-benar orang sakit.
“Sudah saya katakan dari awal, ini butuh mental yang tinggi. Seseorang biasanya sulit mencerna kenyataan yang amat pahit, yang sabar ya Pak Kevin.”
“ Lalu apa yang harus saya lakukan sekarang terhadap Jeje, Dok?”
“Mengingat ini sangat berbahaya bagi keselamatan bapak sekeluarga, saya sarankan bapak membawanya ke tempat rehabilitasi mental. Bukan rumah sakit jiwa ya Pak! Tapi REHABILITASI MENTAL. Oia, di mana anak bapak sekarang? Saya harap ia tidak berada dekat dengan orang-orang yang dibencinya.”
“Di rumah, Dok.”
Suasana hening sejenak. Dan tiba-tiba....
“Astaga, di rumah saya bilang, Dok??? Maaf, saya harus segera pulang!” kata Kevin, sebelum akhirnya ia melesat secepat kilat menuju rumah.
Sementara sang dokter tampak bingung melihat reaksi Kevin.
Kevin memasuki pekarangan rumahnya dengan tergesa-gesa, seperti sedang dikejar oleh monster yang menyeramkan. Biasanya ada security yang menyambutnya, namun rumah tampak dalam keadaan sepi. Ia masih ingat ketika ia pergi dari rumah dengan meninggalkan Melodi, Ayana, Nabilah dan Jeje di rumah. Sebenarnya ia tahu bahwa hubungan istri dan anak-anaknya tidak terlalu baik dengan Jeje, tapi sebelum ia mendapat berita mencengangkan ini semua tampak baik-baik saja, pikirnya. Sementara Melodi telah berkomitmen bahwa ia tak akan menerima Jeje sebagai anak yang pernah ia lahirkan. Bagi Melodi itu adalah aib bagi orang terpandang seperti dirinya.
BRRRAAKKKKK.......!!!!
Kevin telah memasuki pintu utama rumahnya yang tak terkunci itu. Namun Kevin agak bersemangat membukanya hingga terdengar suara bantingan pintu yang cukup keras.
Semua ruangan di lantai satu telah diperiksa, tak juga ia temui istri dan anak-anaknya. Kevin menaiki tangga dengan langkah yang semakin dipercepat. Dan sampailah ia di lantai dua rumahnya. Di sana ada sebuah kamar mandi besar, 3 kamar, dan sebuah ruang kerja miliknya. Pertama Kevin memeriksa kamar mandi. Dan...
“Aaaaaaaaggghhhhhhh....!!!”
Kevin berteriak histeris menyaksikan pemandangan yang amat mengerikan di depannya. Dua mayat manusia terbujur kaku di tempat yang agak berjauhan. Kedua mayat itu tak lain adalah security yang selalu setia menjaga rumah megah itu. Keduanya tewas dengan luka gorok di leher. Ia tak tahu atau atau mencoba untuk tidak mencari tau siapa gerangan orang sadis yang tega melakukan hal ini.
Dari kejauhan, tepatnya di kamar nomor 3 paling ujung dari tempatnya sekarang terdengar samar-samar suara petikan gitar. Ia seolah tau itu adalah Jeje, namun nada petikan gitar tersebut terasa sangat asing di telinganya. Seharusnya Jeje memainkan melodi yang gembira seperti ketika ia pertama bertemu Jeje yang tengah memainkan gitarnya. Namun yang ia dengar kini adalah melodi menyeramkan seolah sedang berkabung. Mengapa Jeje berubah.
Kevin seolah merasakan penderitaan yang di alami Jeje sejak dulu. Andai saja ia tidak terlalu sibuk dengan urusan kepolitiknnya, pasti Jeje kecil tidak sampai dibuang oleh Melodi. Dan kini semua itu tinggal penyesalan belaka. Dengan langkah gontai Kevin langsung menuju kamar ketiga yang merupakan sumber dari bunyi petikan gitar Jeje atau bukan Jeje yang sebenarnya.
Kevin membuka pintu.
Jiwa Kevin seakan lepas dari badan kasarnya, berkali-kali ia menepuk pipinya ke kanan dan ke kiri. Ini kenyataan.
Pemandangan yang lebih seram dari pada mayat-mayat security itu kian membuatnya tak sanggup untuk berdiri dengan kakinya sendiri. Kevin tumbang dan tertunduk. Ia shock berat.
“Mengapa seperti ini Jeje?”
Kalimat bernada lirih terlontar dari bibir Kevin. Kini ia tak punya lagi cukup tenaga untuk membentak bahkan marah.
Sementara Jeje tak merespon dan masih tetap betah dengan petikan-petikan gitarnya yang menyeramkan.
Suasana tersebut bertahan kira-kira sekitar 1 menit sebelum akhirnya kejutan yang lain mulai menampakkan diri pada Kevin yang ketika itu telah perpasrah diri menerima kejutan selanjutnya.
“Aku hanya mencoba menghantar kepergian mereka dengan lagu kematian ini, dan aku harap mereka tenang di sana. Apa ini salah, ayah?”
Kevin bangkit dari posisinya yang tertunduk, ia menatap lekat pada Jeje dan gitarnya yang berlumuran darah segar. Sementara Jeje menatap tiga wujud yang tak lagi bernyawa itu :Melodi, Nabilah dan Ayana. Kevin pun sekaligus tercengang karena baru pertama kalinya Jeje memanggilnya dengan sebutan AYAH.
“Ka...kau, bisa bicara Jeje?”
Suara parau Kevin tampaknya memaksa Jeje untuk turut menatapnya. Namun Jeje tak lagi melanjutkan perkataannya yang cukup lancar itu.
“Apa motif dibalik semua ini? Mengapa kau berubah seperti ini, Nak?” lanjut Kevin.
Jeje bangkit dan mendekati Kevin. Ia tersenyum sembari menjawab.
“Tidak ada. Aku hanya ingin mereka bahagia dan tidak terlalu lama menderita di dunia ini dengan rasa dengki dalam diri mereka.”
“Ta..tapi, ini terlalu sadis.....”
“Sadis ayah bilang? Mana lebih sadis dibanding dengan membuang anak kandung di tempat pembuangan sampah dan membiarkannya hidup sendiri dikejamnya kehidupan jalanan???”
Kevin terdiam. Nafasnya terasa tertahan sejenak dan jantungnya sakit. Seperti ada peluru nyasar yang mengenai tepat di jantungnya.
“Lagi pula ini tidak sebanding, kehidupanku yang sadis hanya dibayar dengan cairan kental berwarna merah ini. Sungguh tak adil!”
“Lalu, apa yang kau mau sekarang?”
Jeje menatap tajam ke arah kedua bola mata Kevin. Rautnya yang polos kini menjelma menjadi raut kemurkaan yang tak pernah Kevin bayangkan sebelumnya.
Jeje memeluk kevinlalu berkata.
“Aku ingin ayah bahagia.... Di sana, dengan m e r e k a....!”
Hening... . . .
Author By : kevin_pangkar
Jujur :v ini Cerpen Horor Pertama DI Web 48-story.blogspot.com :v
No comments :
Post a Comment
Leave a Comment...