Kumpulan Cerpen dan Fanfict dari fans Fans JKT48 @story_48

Teror Malam Hari



PERHATIAN
CERITA INI HANYA FIKTIF BELAKA DAN HANYA DELUSI HOROR SEORANG FANS YANG SUKA DENGAN HAL-HAL HOROR. BUKAN BERARTI SAYA PSIKOPAT TAPI KARENA SAYA MEMANG PENGEMAR HOROR. MAAF JIKA ADA YANG SALAH.

TEROR MALAM HARI
Shania masuk ke dalam rumahnya. Ia sedikit melepas lelah karena dari siang tadi ia harus mengerjakan tugas kelompok yang diberikan dosen kepadanya. Sungguh hari yang melelahkan!
Shania melirik jam tangan miliknya. Ternyata sudah pukul 23.00. Tapi, mengapa orang tuanya tak sekalipun menelponnya? Padahal jika Shania belum pulang di atas pukul 20.00 saja, orangtuanya pasti telah memarahinya. Tapi kali ini tidak. Shania mulai curiga. Ditambah lagi suasana rumah yang sepi membuat hati Shania semakin gundah.
“Ayah? Ibu?? Shania pulang!!” Shania berteriak sekencang-kencangnya. Namun tak ada sahutan. “Kalian ada dimana?” Shania mulai bergerak mencari keberadaan ayah dan ibunya di dalam rumah. Belum sempat Shania meninggalkan ruang tamu, tiba-tiba handphone miliknya berdering. Ternyata ada panggilan masuk. Mungkin ayah atau ibu, pikirnya. Tanpa melihat nomor, Shania menjawab panggilan itu.
“Halo? Ayah?” tanya Shania “Halo Shania..” kata seseorang dengan suara berat di seberang sana.
“Hah? Ini siapa ya?” kata Shania sembari melihat nomor si penelpon. Ternyata nomor pribadi.
“Pertanyaannya bukan siapa, melainkan dimana.”
“Hah? Apa maksud kamu?”
“Tenang, jangan panik seperti itu. Malam ini, saya ingin sedikit bermain bersama kamu.”
“Maaf, tapi ini sudah malam. Saya capek dan saya mau istirahat. Kalau kamu mau bermain-main tolong telpon orang lain saja.” kata Shania yang hendak memutuskan panggilan itu.
“Jangan tutup telponnya!!!!!” bentak si penelpon. “Kalau kamu melakukannya, maka nyawa ayah dan ibumu tidak akan selamat!!!!!!”
“Ayah? Ibu?? Hei, kamu itu siapa?? Apa yang sedang kamu lsayakan kepada mereka?”
“Hahahahahaha... Seperti itu. Saya ingin mengadakan permainan. Sebab saya tahu kamu adalah mahasiswa tercerdas dengan nilai ujian semester yang paling tinggi semester ini.”
“Apa mau kamu??”
“Sudah kubilang, bukan? Saya ingin bermain. Permainan pertama: Saya kini sedang bersama ayahmu. Tapi pertanyaannya adalah dimana saya? Hahahahahaha... Mungkin akan sulit menemukanku sebab rumahmu ini sangatlah besar. Tapi jangan khawatir, saya akan memberi kamu satu bantuan. Simak baik-baik, ketika gelap datang, maka kamu dapat terbang. namun ketika terang kembali, maka kamu akan menyadari bahwa kamu tidak dapat terbang. Mudah bukan?”
“Kamu jangan main-main ya!!” kata Shania sambil berjalan menuju telpon rumah yang ada di ruang tamu.
“Siapa yang sedang bermain-main? Kamu punya waktu 5 menit untuk memecahkan teka-teki itu. Jika lewat 5 menit, saya tidak akan jamin kamu dapat melihat ayahmu dalam keadaan hidup.”
“Bagaimana saya bisa tahu kalau kamu tidak main-main?” tanya Shania dengan nada menantang.
“Ini... Shania!! Shania!!!! Jangan datang ke sini! Bahaya!!!!!!!” terdengar suara ayah Shania di ujung sana.
“Ayah!!! Hei, sebenernya apa yang kamu mau? Brengsek!!!!!” Shania diam-diam menganggkat gagang telpon rumah dan mulai memijit nomor 113.
“Percuma saja kamu telpon polisi. Semua kabel telpon dan internet di rumah ini sudah saya putus!”
Benar saja, tak ada nada sambungan di telpon itu.
“Sial! Tolong, saya mohon jangan lakukan ini.. Apa yang sebenernya kamu inginkan dari saya?”
“Saya cuma ingin... bermain...”
“Pshyco!!! Permainanmu ini membuat saya muak!”
“Waktu tinggal 1 menit lagi.”
“Gila kamu!!” Shania tak henti-hentinya memaki pada si penelpon. Tapi si penelpon tak menggubrisnya. Ia tetap menjalankan permainan yang menurutnya asyik itu.
“Sepuluh... sembilan...delapan...tujuh...enam...lima...empat...tiga...dua...satu... Waktu habis Shania. Kamu tak bisa menjawabnya.”
“Tolong... Jangan lakukan sesuatu yang buruh pada ayahku!!!!”
Dari telpon terdengar suara rintihan kesakitan di seberang sana. Shania hanya bisa menangis sambil menutup mulutnya. Ia bingung harus berbuat apa. “Hei!!! Tolong jangan apa-apakan ayahku! Ayah!!!!!” Shania berteriak.
“Sayang sekali Shania, Semua keputusan ada di tanganmu. Jika jawabanmu salah atau tidak menjawab, maka kamu akan kehilangan satu nyawa.”
“Kamu ini benar-benar gila!! Dimana kamu?? Sekarang katakan pada saya!!!!!!” kata Shania
“Baiklah. Ketika gelap datang, artinya malam hari. Kamu dapat terbang berarti melakukan hal yang tidak mungkin. Dan hanya sewaktu bermimpi saja kamu dapat melakukan hal yang tidak mungkin. Dan ketika pagi kembali, kamu akan tersadar ke dunia nyata. Semua itu dapat kamu lakukan di kamar tidurmu.”
Tanpa basa basi lagi, Shania langsung berlari ke kamar tidur miliknya yang ada di lantai 2. Ketika membuka pintu kamar, ia terkejut melihat pemandangan mengerikan yang ada di hadapannya. Sesosok pria tanpa nyawa tengah tergantung di langit-langit dengan usus yang menjulur keluar dari perutnya. Melihat itu, Shania langsung berteriak histeris. Ia menangis melihat ayahnya yang mati dengan mengerikan. Seandainya saja ia dapat menjawabnya, mungkin ayahnya tidak akan seperti ini. Shania keluar kamar lalu mengeluarkan semua isi perutnya ke lantai. Ia masih terus menggenggam handphone miliknya. Beberapa saat kemudian, si penelpon itu berbicara lagi.
“Bagaimana Shania? Kamu menikmati permainannya?”
“Tolong... Saya mohon.... Saya mohon sama kamu. Tolong hentikan semua ini. Saya akan bayar kamu. Berapapun kamu minta. Tolong jangan lakukan ini sama ibu saya..”
“Saya tidak minta uang Shania.Tapi saya minta kamu menyelesaikan pertanyaan ini. Pertanyaan kedua dimulai.”
“Tidak!!! Tolong, saya tidak mau! Saya tidak bisa....” ujar Shania memohon-mohon sambil menangis.
“Saya kini sedang bersama ibumu. Pertanyaannya dimana saya? Untuk mempermudah kamu menjawabnya, saya akan memberi kamu satu petunjuk. Simak baik-baik: suatu hari di musim kemarau pada malam hari, ketika kamu melihat keluar jendela, maka kamu dapat melihat banyak tangan yang melambai-lambai ke arahmu.”
“Tolong, saya mohon... Saya tidak tahu.”
“Nasib ibumu ada di tanganmu. Kamu tidak mau kan beliau bernasib sama seperti ayah kamu? Kamu memiliki waktu 5 menit untuk memecahkannya.”
“Tolong... Jangan lakukan ini. Saya mohon, pergilah...”
“Waktu terus berjalan, Shania...”
“Baik. Baiklah. Asal jangan sakiti ibu saya. Saya akan berusaha menjawabnya!” kata Shania sambil menyeka air matanya. “Boleh saya dengar sekali lagi petunjuknya?”
“Tentu, suatu hari di musim kemarau pada malam hari, ketika kamu melihat keluar jendela, maka kamu dapat melihat banyak tangan yang melambai-lambai ke arahmu.”
Shania mulai berfikir tempat di rumahnya yang digambarkan oleh petunjuk tadi. Sebuah tempat dimana ketika melihat keluar jendela, maka ada tangan-tangan yang melambai ke arahnya. Tangan? Apa mungkin yang dimaksud tangan yang melambai itu adalah ranting pohon yang bergoyang ketika ditiup angin? Tentu saja! apalagi, musim kemarau membuat pohon-pohon di sekitar rumah Shania meranggas dan tinggal rantingnya saja. Dan jika ranting itu tertiup angin, maka pada malam hari di ruangan itu akan terpantul bayangan seperti tangan orang sedang melambai-lambai. Dan, cuma ada satu tempat di rumah Shania yang menggambarkan kondisi itu! Di ruang kerja ayah Shania i.
Tanpa pikir panjang lagi Shania bergegas mengambil langkah seribu menuju ruang kerja ayah Shania yang ada di lantai tiga.
Sesampainya di sana, Shania terkejut melihat pintu ruang kerja ayahnya terkunci. Di sisi pintu itu terdapat tulisan: 6598  4458  ???? Dan ia juga melihat tombol yang berisi angka-angka. Ia bingung dan bertanya kembali pada si penelpon.
“Apa maksudnya ini?” tanya Shania
“Ini adalah pertanyaan bonus. Jika kamu dapat memecahkannya dalam waktu yang tersisa maka ibumu akan selamat. Jika kamu sudah tahu jawabannya, maka kamu tinggal memencet angkanya. Jika benar, maka pintu akan terbuka secara otomatis. Kamu punya 2 kali kesempatan. Jika yang kedua salah, maka pintunya tidak akan dapat terbuka lagi.”
“Tolong jangan main-main! Saya kan sudah bisa menebak pertanyaan yang kedua, sekarang, kembalikan ibu saya!”
“Jika mau itu, jawab dulu pertanyaan ini. Waktumu tinggal 3 menit, Shania...”
“Tolong, saya tidak mengerti dengan angka-angka yang kamu tulis ini! Saya cuma mau kamu kembalikan ibu saya!!!”
“Semakin cepat kamu menyelesaikannya, semakin cepat pula kamu menyelamatkannya.”
Di dalam ruangan itu, ibu Shania tengah duduk di sebuah kursi. Mulutnya di ikat. Di dekat kepalanya, tergantung sebuah Kapak yang siap menebas kepalanya. Kapak  itu telah terhubung dengan timer yang terus berjalan mundur oeh sebuah tali yang menggantung dan telah diatur sedemikian rupa sehingga ketika waktu habis maka kapak tersebut akan jatuh tepat diat kepala ibunya
Di luar ruangan, Shania masih terus berpikir mengenai angka-angka itu. 6598  4458  ????
“Apa maksudnya ini?” tanya sambil menangis sesenggukan.
Ia mulai berfikir. 6598, apakah angka prima? Ternyata bukan. Apakah 4458 merupakan faktor dari 6598? Ternyata juga bukan. Lalu apa??
“Waktumu tingal 2 menit, Shania..” kata si penelpon
Shania masih terus berpikir. Mungkin ini adalah deret artimatika! Jika 6598 dibagi 2, maka hasilnya 3299. Dan jika 4458 dibagi 2 juga hasilnya 2229. Selisih dari 3299 dan 2229 adalah 1070. Maka angka berikutnya pasti: (2229 – 1070) lalu dikalikan 2. Dan hasilnya.. 2318!!
Shania langsung memencet angka itu di tombol angka yang ada di sisi pintu. Tapi pintu tak kunjung terbuka.
“Jawabanmu salah Shania.. Kamu berpikir terlalu rumit. Coba sederhanakan saja pikiranmu itu.”
Shania mulai ketakutan. Jika kali ini gagal, pintu tak akan terbuka dan ibunya juga pasti tidak akan selamat, sama seperti ayahnya. Ia mulai berpikir lagi dari awal. Kali ini dengan pikiran yang lebih sederhana.
6598  4458  ???? Coba ambil 2 angka luar dari 6598, yaitu 6 dan 8. Jika 6 dan 8 dikalikan maka hasilnya adalah 48. Dan 48 juga adalah 2 angka luar dari 4458.
“Waktunya tersisa 1 menit lagi. Hahahahahahaha...” kata si penelpon sembari tertawa. Tapi Shania tak menggubrisnya. Ia terpaku pada angka yang ada di hadapannya.
Lalu 2 angka dalam dari 6598, yaitu 5 dan 9. Jika 5 dan 9 dikalikan maka hasilnya adalah 45. Dan 45 juga adalah 2 angka dalam dari 4458.
“ Sepuluh..sembilan..delapan...” kata si penelpon yang mulai menghitung mundur.
Di dalam ruangan, ibu Shania  meronta-ronta karena melihat waktu timernya semakin mengecil.
Maka angka selanjutnya adalah.. 4 dikali 8 yaitu 32 taruh di depan dan belakang, lalu 4 dikali 5 yaitu 20 taruh di antara hasi kali 4 dan 8, yaitu 32. Maka angka selanjutnya,
“Tujuh... Enam... Lima...”
“3202!!!!” pekik Shania. Shania i langsung memasukkan angka 3202 ke tombol angka itu.
“Empat..tiga..dua..”
Pintu terbuka. Shania melihat ibunya tengah duduk di kursi sambil diikat dan ada kapak yang menggantung diatas kepala ibunya.
“Ibu..!!!” teriak Shania
“Satu.....”
Angka di timer itu habis. Benang yang ada di pelatuk pistol itu tertarik dan...
Crass....
Sebuah kapak jatuh tepat diatas  kepala ibu Sezi. Darah muncrat begitu saja. Shania berteriak histeris memanggil nama ibunya. Handphone yang sedari tadi digenggamnyapun jatuh di lantai.
“Ibu!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!” teriak Shania sambil menangis dan memeluk tubuh ibunya. “Ibu, ibu bertahan, bu! Ada Shania di sini! Ibu nggak boleh tinggalin Shania sendirian!! Ibu... Tolong ibu! Bicara sama Shania . Shania ada di sini.” Darah terus mengalir dari  kepala ibu Shania. Shania yang memeluk tubuh ibunya ikut terkena darah yang mengalir. Tapi Shania tak peduli. Ia hanya ingin ibunya selamat. “Bu, tetap bersamaku. Shania yakin ibu masih kuat.” Tapi percuma, tubuh ibu Shania sudah kaku dan menjadi mayat. “Ibu.... jangan tinggalin Sezi.”
“Bagaimana Shania i? Ini adalah konsekuensinya jika kamu menjawab terlalu lama.” kata si penelpon.
Shania mengambil handphone miliknya yang tergeletak di lantai. Dan dengan emosi yang meluap-luap, ia memaki si penelpon.
“Puas? Puas kamu menghancurkan keluarga saya? Sekarang lekas beritahu aku, siapa kamu sebenarnya!!!!” kata Shania sambil menangis karena marah. Amarahnya tak terbendung lagi. Ia melihat ke sekelilingnya. Ternyata ada tas stik golf di meja kerja ayah Shania. Shania mendekatinya.
“Hahahahahaha... Tak semudah itu. Untuk mengetahui siapa saya, kamu harus menjawab satu pertanyaan terakhir dari saya.”
“Jawaban apa yang kamu mau??!!!!” teriak Shania i kesal.
“Pertanyaannya, saya ada dimana? Kini saya sendiri. Petunjuknya, seekor ayam kecil sedang kebingungan mencari induknya. Ia mencarinya hingga ke suatu tempat. Namun di tempat itu ada serigala dengan gigi yang tajam sedang mengincar dirinya. Kamu punya waktu 5 menit, lebih dari itu....” kata si penelpon terputus oleh kata-kata Shania.
“Bau apa ini??!” kata Shania sambil menutup hidungnya. Baunya sangat busuk dan menusuk hidung.
“Kamu tahu kan apa yang akan saya lakukan jika kamu tak berhasil menemukan saya? Kita akan mati berdua di sini. Bersama-sama....”
“Dasar pshyco!!!!” Tiba-tiba, Shania tahu dimana tempat persembunyian si penelpon sakit jiwa itu. Ia mengambil tongkat golf ayahnya dan berkata, “Tunggu aku, bangsat!” Shania membanting handphone miliknya ke lantai. Handphone itu hancur berantakan.
Shania berjalan menuju dapur. Ayam kehilangan induknya, dan bertemu serigala bergigi tajam berarti ayam yang akan dipotong oleh pisau dapur yang tajam. Ditambah bau menusuk ini. Ini adalah bau gas! Jika Shania gagal menemukannya, maka sang psikopat akan meledakkan rumah Shania. Membakar Shania i hidup-hidup dengan gas ini.
Shania membuka pintu dapur. Ia bersiap akan memukul si psikopat dengan tongkat golf yang ia bawa. Namun ternyata di dapur tak ada seorang pun. Ternyata dugaan Shania  salah, si psikopat bersembunyi dibalik pintu dapur yang terbuka dari luar. Ia mulai menyerang  Shania. Ia membekap mulut Shania dengan tangannya. Tongkat golf yang ia pegang jatuh di lantai.
Si psikopat mengeluarkan pisau yang besar dan hendak menusuk Shania. Mata Shania i terbelalak melihat pisau itu, besar, tajam, dan mengkilat. Shania langsung menggigit tangan yang membekap mulutnya. Si psikopat kesaiktan dan melepaskan tangannya dari mulut Shania. Pisau yang ia bawa jatuh di lantai. Shania langsung berlari ke arah tempat cucian piring. Di sana ia melihat ada banyak piring kotor yang belum dicuci. Tanpa menunggu panjang, ia mulai melemparkan satu persatu piring itu ke arah psikopat bertopeng yang ada di hadapannya.
“Rasain.. rasain ini!!!!” Shania melempar piring. Tapi orang yang ada di hadapannya ini selalu menepis piring yang terbang ke arahnya. Ketika piring di tempat cucian itu habis, Shania kebingungan mencari senjata untuk mempertahankan hidupnya dari psikopat gila itu. Beruntung ia menemukan sebuah garpu di sana.
Si psikopat itu terus berjalan ke arah Shania. Tanpa sengaja kakinya menginjak pecahan piring yang berserakan di lantai. Ia berteriak kesakitan. Lalu, ia meletakkan tangan kirinya di atas meja makan dan tangan kanannya mencabut pecahan piring itu dari kakinya. Darah segar mengucur dari kakinya.
Ketika si psikopat itu lengah, Shania langsung menusukkan garpu yang dipegangnya ke arah tangan psikopat. Garpu itu menancap sempurna di telapak tangan kiri psikopat yang sedang berada di atas meja. Ia kembali berteriak kesakitan.
Shania kembali mencari barang untuk senjata di sekitarnya. Ia menemukan sebuah teflon memasak yang tergantung di atas rak piring. Si psikopat itu mencabut garpu yang ada di telapak tangan kirinya sambil menahan rasa sakit yang luar biasa. Setelah tercabut, ia kembali melihat Shania. Pada saat itu pula Shania memukul kepala psikopat itu dengan teflon tadi. Si psikopat langsung ambruk ke lantai. Shania berhenti menyerang. Ia melihat psikopat itu tak lagi berdaya. Mungkin ia sudah mati sebab Shania memukul kepalanya dengan amat keras.
Shania penasaran siapa yang ada di balik topeng itu. Maka dari itu, ia mendekat ke arah si psikopat lalu membuka topeng yang melekat di wajahnya. Ia sangat terkejut ketika melihat wajah yang ada di balik topeng itu. Ternyata, si psikopat itu adalah orang yang ia kenal selama ini. Namanya adalah Dhike. Dia adalah teman satu kampus Shania yang sudah sejak 2 tahun lalu. Tapi kenapa?
Tiba-tiba, tangan Dhike mencekik leher Shania. Shania kehabisan nafas. Ia tak dapat bernafas dengan leluasa. Ia berusaha untuk melepas tangan Dhike dari lehernya, tapi tak bisa. Cengkraman Dhike di leher Shania terlalu kuat.
“Apa kabar Shania? Kamu masih ingat aku? Sebaiknya iya!! Kamu yang sudah menghancurkan keluarga aku!! Gara-gara ayah dan ibu kamu, perusahaan ayah aku jadi bangkrut sebab ayah kamu berbuat curang dengan perusahaan ayah aku! Ayah kamu sengaja menarik para investor yang ada di perusahaan ayah aku untuk menarik kembali sahamnya dari perusahaan ayah aku. Lalu ayah kamu menyuruh mereka menanam saham yang besar itu ke perusahaan ayah kamu! Nggak cuma itu, Shania,, sejak itu ayah ku sakit-sakitan dan ibuku pergi meninggalkan kami entah kemana sampai ayahku meninggal Ini harga mahal yang harus kamu bayar!!!!”
Shania semakin tak bisa bernapas. Matanya melotot. Dhike semakin kuat mencekik leher Shania.
“Aku senang kamu melihat tak berdaya seperti ini! Dengan begini, dendam aku terbalaskan!!!”
Akhirnya, Shania tak bernafas lagi. Badannya lemas dan tergolek. Dhike melepaskan tangannya dari leher Shania. Ia tersenyum dingin melihat Shania yang sudah tak bernyawa lagi.
“Hahahahahahaha..... Kasihan kamu Shania, padahal kamu ini sangat cantik, tapi hati kamu dan keluarga kamu busuk!!!!!!!” Dhike mendekat ke arah jazad Shania. Ia tak henti-hentinya tertawa dengan puasnya.
Tanpa Dhike sadari, tangan kanan Shania bergerak menuju pisau yang tadi Dhike bawa yang jatuh di lantai.
Dhike menundukkan badannya untuk memastikan apakah Sahnia sudah mati. Tiba-tiba, tangan kiri Shania memukul wajah Dhike  dengan kuat. Dhike kebingungan.
“Memangnya, kamu saja yang bisa pura-pura mati tadi?”
Dengan cepat Shania menusukkan pisau itu ke punggung Dhike .
“Aku juga bisa.” kata Shania. Dhike yang kesakitan berteriak lalu berdiri. Ia mencoba untuk mencabut pisau yang menancap di punggungnya. Ketika itu, Shania mulai mencari sesuatu untuk senjata. Ia menemukan tabung elpiji 3 kg yang selangnya sudah dipotong oleh Dhike. Mungkin bau itu berasa dari ini.
Dhike berhasil mengambil pisau yang ada di punggungnya. Namun, dengan ganas, Shania memukul kepala Dhike  dengan tabung elpiji 3 kg itu. Tubuh Dhike jatuh di lantai. Shania ingin memastikan bahwa Dhike haruslah sudah mati agar ia tak dapat melukai dirinya lagi. Shania kembali memukul kepala Dhike dengan tabung elpiji itu berulangkali.
“ Mati.. mati kamu!!!!” teriak Shania. Darah muncrat dari kepala Dhike ke wajah Shania i. Shania terus memukul kepala Dhike dengan tabung elpiji itu sampai kepala Dhike hancur dan tak berbentuk lagi. Akhirnya, Shania berhenti. Nafasnya terengah-engah. Ya, semua ini berakhir. Shania menutup matanya


Author By : @kevin_pangkar

Unknown

I'm just newbie pentester and linux enthusiast

No comments :

Post a Comment

Leave a Comment...

Powered by Blogger.

About Us