PERHATIAN
CERITA INI HANYA FIKTIF BELAKA DAN HANYA DELUSI HOROR
SEORANG FANS YANG SUKA DENGAN HAL-HAL HOROR. BUKAN BERARTI SAYA PSIKOPAT TAPI
KARENA SAYA MEMANG PENGEMAR HOROR. MAAF JIKA ADA YANG SALAH.
TEROR MALAM HARI
Shania masuk ke dalam rumahnya. Ia sedikit melepas lelah
karena dari siang tadi ia harus mengerjakan tugas kelompok yang diberikan dosen
kepadanya. Sungguh hari yang melelahkan!
Shania melirik jam tangan miliknya. Ternyata sudah pukul
23.00. Tapi, mengapa orang tuanya tak sekalipun menelponnya? Padahal jika
Shania belum pulang di atas pukul 20.00 saja, orangtuanya pasti telah
memarahinya. Tapi kali ini tidak. Shania mulai curiga. Ditambah lagi suasana
rumah yang sepi membuat hati Shania semakin gundah.
“Ayah? Ibu?? Shania pulang!!” Shania berteriak
sekencang-kencangnya. Namun tak ada sahutan. “Kalian ada dimana?” Shania mulai
bergerak mencari keberadaan ayah dan ibunya di dalam rumah. Belum sempat Shania
meninggalkan ruang tamu, tiba-tiba handphone miliknya berdering. Ternyata ada
panggilan masuk. Mungkin ayah atau ibu, pikirnya. Tanpa melihat nomor, Shania
menjawab panggilan itu.
“Halo? Ayah?” tanya Shania “Halo Shania..” kata seseorang
dengan suara berat di seberang sana.
“Hah? Ini siapa ya?” kata Shania sembari melihat nomor si
penelpon. Ternyata nomor pribadi.
“Pertanyaannya bukan siapa, melainkan dimana.”
“Hah? Apa maksud kamu?”
“Tenang, jangan panik seperti itu. Malam ini, saya ingin
sedikit bermain bersama kamu.”
“Maaf, tapi ini sudah malam. Saya capek dan saya mau
istirahat. Kalau kamu mau bermain-main tolong telpon orang lain saja.” kata
Shania yang hendak memutuskan panggilan itu.
“Jangan tutup telponnya!!!!!” bentak si penelpon. “Kalau
kamu melakukannya, maka nyawa ayah dan ibumu tidak akan selamat!!!!!!”
“Ayah? Ibu?? Hei, kamu itu siapa?? Apa yang sedang kamu
lsayakan kepada mereka?”
“Hahahahahaha... Seperti itu. Saya ingin mengadakan
permainan. Sebab saya tahu kamu adalah mahasiswa tercerdas dengan nilai ujian
semester yang paling tinggi semester ini.”
“Apa mau kamu??”
“Sudah kubilang, bukan? Saya ingin bermain. Permainan
pertama: Saya kini sedang bersama ayahmu. Tapi pertanyaannya adalah dimana
saya? Hahahahahaha... Mungkin akan sulit menemukanku sebab rumahmu ini
sangatlah besar. Tapi jangan khawatir, saya akan memberi kamu satu bantuan.
Simak baik-baik, ketika gelap datang, maka kamu dapat terbang. namun ketika
terang kembali, maka kamu akan menyadari bahwa kamu tidak dapat terbang. Mudah
bukan?”
“Kamu jangan main-main ya!!” kata Shania sambil berjalan
menuju telpon rumah yang ada di ruang tamu.
“Siapa yang sedang bermain-main? Kamu punya waktu 5 menit
untuk memecahkan teka-teki itu. Jika lewat 5 menit, saya tidak akan jamin kamu
dapat melihat ayahmu dalam keadaan hidup.”
“Bagaimana saya bisa tahu kalau kamu tidak main-main?” tanya
Shania dengan nada menantang.
“Ini... Shania!! Shania!!!! Jangan datang ke sini!
Bahaya!!!!!!!” terdengar suara ayah Shania di ujung sana.
“Ayah!!! Hei, sebenernya apa yang kamu mau? Brengsek!!!!!”
Shania diam-diam menganggkat gagang telpon rumah dan mulai memijit nomor 113.
“Percuma saja kamu telpon polisi. Semua kabel telpon dan
internet di rumah ini sudah saya putus!”
Benar saja, tak ada nada sambungan di telpon itu.
“Sial! Tolong, saya mohon jangan lakukan ini.. Apa yang
sebenernya kamu inginkan dari saya?”
“Saya cuma ingin... bermain...”
“Pshyco!!! Permainanmu ini membuat saya muak!”
“Waktu tinggal 1 menit lagi.”
“Gila kamu!!” Shania tak henti-hentinya memaki pada si
penelpon. Tapi si penelpon tak menggubrisnya. Ia tetap menjalankan permainan
yang menurutnya asyik itu.
“Sepuluh...
sembilan...delapan...tujuh...enam...lima...empat...tiga...dua...satu... Waktu
habis Shania. Kamu tak bisa menjawabnya.”
“Tolong... Jangan lakukan sesuatu yang buruh pada
ayahku!!!!”
Dari telpon terdengar suara rintihan kesakitan di seberang
sana. Shania hanya bisa menangis sambil menutup mulutnya. Ia bingung harus
berbuat apa. “Hei!!! Tolong jangan apa-apakan ayahku! Ayah!!!!!” Shania
berteriak.
“Sayang sekali Shania, Semua keputusan ada di tanganmu. Jika
jawabanmu salah atau tidak menjawab, maka kamu akan kehilangan satu nyawa.”
“Kamu ini benar-benar gila!! Dimana kamu?? Sekarang katakan
pada saya!!!!!!” kata Shania
“Baiklah. Ketika gelap datang, artinya malam hari. Kamu
dapat terbang berarti melakukan hal yang tidak mungkin. Dan hanya sewaktu
bermimpi saja kamu dapat melakukan hal yang tidak mungkin. Dan ketika pagi
kembali, kamu akan tersadar ke dunia nyata. Semua itu dapat kamu lakukan di
kamar tidurmu.”
Tanpa basa basi lagi, Shania langsung berlari ke kamar tidur
miliknya yang ada di lantai 2. Ketika membuka pintu kamar, ia terkejut melihat
pemandangan mengerikan yang ada di hadapannya. Sesosok pria tanpa nyawa tengah
tergantung di langit-langit dengan usus yang menjulur keluar dari perutnya.
Melihat itu, Shania langsung berteriak histeris. Ia menangis melihat ayahnya
yang mati dengan mengerikan. Seandainya saja ia dapat menjawabnya, mungkin
ayahnya tidak akan seperti ini. Shania keluar kamar lalu mengeluarkan semua isi
perutnya ke lantai. Ia masih terus menggenggam handphone miliknya. Beberapa
saat kemudian, si penelpon itu berbicara lagi.
“Bagaimana Shania? Kamu menikmati permainannya?”
“Tolong... Saya mohon.... Saya mohon sama kamu. Tolong
hentikan semua ini. Saya akan bayar kamu. Berapapun kamu minta. Tolong jangan
lakukan ini sama ibu saya..”
“Saya tidak minta uang Shania.Tapi saya minta kamu
menyelesaikan pertanyaan ini. Pertanyaan kedua dimulai.”
“Tidak!!! Tolong, saya tidak mau! Saya tidak bisa....” ujar
Shania memohon-mohon sambil menangis.
“Saya kini sedang bersama ibumu. Pertanyaannya dimana saya?
Untuk mempermudah kamu menjawabnya, saya akan memberi kamu satu petunjuk. Simak
baik-baik: suatu hari di musim kemarau pada malam hari, ketika kamu melihat
keluar jendela, maka kamu dapat melihat banyak tangan yang melambai-lambai ke
arahmu.”
“Tolong, saya mohon... Saya tidak tahu.”
“Nasib ibumu ada di tanganmu. Kamu tidak mau kan beliau
bernasib sama seperti ayah kamu? Kamu memiliki waktu 5 menit untuk
memecahkannya.”
“Tolong... Jangan lakukan ini. Saya mohon, pergilah...”
“Waktu terus berjalan, Shania...”
“Baik. Baiklah. Asal jangan sakiti ibu saya. Saya akan
berusaha menjawabnya!” kata Shania sambil menyeka air matanya. “Boleh saya
dengar sekali lagi petunjuknya?”
“Tentu, suatu hari di musim kemarau pada malam hari, ketika
kamu melihat keluar jendela, maka kamu dapat melihat banyak tangan yang
melambai-lambai ke arahmu.”
Shania mulai berfikir tempat di rumahnya yang digambarkan
oleh petunjuk tadi. Sebuah tempat dimana ketika melihat keluar jendela, maka
ada tangan-tangan yang melambai ke arahnya. Tangan? Apa mungkin yang dimaksud
tangan yang melambai itu adalah ranting pohon yang bergoyang ketika ditiup
angin? Tentu saja! apalagi, musim kemarau membuat pohon-pohon di sekitar rumah
Shania meranggas dan tinggal rantingnya saja. Dan jika ranting itu tertiup
angin, maka pada malam hari di ruangan itu akan terpantul bayangan seperti
tangan orang sedang melambai-lambai. Dan, cuma ada satu tempat di rumah Shania
yang menggambarkan kondisi itu! Di ruang kerja ayah Shania i.
Tanpa pikir panjang lagi Shania bergegas mengambil langkah
seribu menuju ruang kerja ayah Shania yang ada di lantai tiga.
Sesampainya di sana, Shania terkejut melihat pintu ruang
kerja ayahnya terkunci. Di sisi pintu itu terdapat tulisan: 6598 4458 ???? Dan ia juga melihat tombol yang berisi angka-angka. Ia
bingung dan bertanya kembali pada si penelpon.
“Apa maksudnya ini?” tanya Shania
“Ini adalah pertanyaan bonus. Jika kamu dapat memecahkannya
dalam waktu yang tersisa maka ibumu akan selamat. Jika kamu sudah tahu
jawabannya, maka kamu tinggal memencet angkanya. Jika benar, maka pintu akan
terbuka secara otomatis. Kamu punya 2 kali kesempatan. Jika yang kedua salah,
maka pintunya tidak akan dapat terbuka lagi.”
“Tolong jangan main-main! Saya kan sudah bisa menebak
pertanyaan yang kedua, sekarang, kembalikan ibu saya!”
“Jika mau itu, jawab dulu pertanyaan ini. Waktumu tinggal 3
menit, Shania...”
“Tolong, saya tidak mengerti dengan angka-angka yang kamu
tulis ini! Saya cuma mau kamu kembalikan ibu saya!!!”
“Semakin cepat kamu menyelesaikannya, semakin cepat pula
kamu menyelamatkannya.”
Di dalam ruangan itu, ibu Shania tengah duduk di sebuah
kursi. Mulutnya di ikat. Di dekat kepalanya, tergantung sebuah Kapak yang siap
menebas kepalanya. Kapak itu telah
terhubung dengan timer yang terus berjalan mundur oeh sebuah tali yang
menggantung dan telah diatur sedemikian rupa sehingga ketika waktu habis maka
kapak tersebut akan jatuh tepat diat kepala ibunya
Di luar ruangan, Shania masih terus berpikir mengenai
angka-angka itu. 6598 4458 ????
“Apa maksudnya ini?” tanya sambil menangis sesenggukan.
Ia mulai berfikir. 6598, apakah angka prima? Ternyata bukan.
Apakah 4458 merupakan faktor dari 6598? Ternyata juga bukan. Lalu apa??
“Waktumu tingal 2 menit, Shania..” kata si penelpon
Shania masih terus berpikir. Mungkin ini adalah deret
artimatika! Jika 6598 dibagi 2, maka hasilnya 3299. Dan jika 4458 dibagi 2 juga
hasilnya 2229. Selisih dari 3299 dan 2229 adalah 1070. Maka angka berikutnya
pasti: (2229 – 1070) lalu dikalikan 2. Dan hasilnya.. 2318!!
Shania langsung memencet angka itu di tombol angka yang ada
di sisi pintu. Tapi pintu tak kunjung terbuka.
“Jawabanmu salah Shania.. Kamu berpikir terlalu rumit. Coba
sederhanakan saja pikiranmu itu.”
Shania mulai ketakutan. Jika kali ini gagal, pintu tak akan
terbuka dan ibunya juga pasti tidak akan selamat, sama seperti ayahnya. Ia
mulai berpikir lagi dari awal. Kali ini dengan pikiran yang lebih sederhana.
6598 4458 ???? Coba ambil 2 angka luar
dari 6598, yaitu 6 dan 8. Jika 6 dan 8 dikalikan maka hasilnya adalah
48. Dan 48 juga adalah 2 angka luar dari 4458.
“Waktunya tersisa 1 menit lagi. Hahahahahahaha...” kata si
penelpon sembari tertawa. Tapi Shania tak menggubrisnya. Ia terpaku pada angka
yang ada di hadapannya.
Lalu 2 angka dalam dari 6598, yaitu 5 dan 9. Jika 5 dan 9
dikalikan maka hasilnya adalah 45. Dan 45 juga adalah 2 angka dalam dari 4458.
“ Sepuluh..sembilan..delapan...” kata si penelpon yang mulai
menghitung mundur.
Di dalam ruangan, ibu Shania
meronta-ronta karena melihat waktu timernya semakin mengecil.
Maka angka selanjutnya adalah.. 4 dikali 8 yaitu 32 taruh di
depan dan belakang, lalu 4 dikali 5 yaitu 20 taruh di antara hasi kali 4 dan 8,
yaitu 32. Maka angka selanjutnya,
“Tujuh... Enam... Lima...”
“3202!!!!” pekik Shania. Shania i langsung memasukkan angka
3202 ke tombol angka itu.
“Empat..tiga..dua..”
Pintu terbuka. Shania melihat ibunya tengah duduk di kursi
sambil diikat dan ada kapak yang menggantung diatas kepala ibunya.
“Ibu..!!!” teriak Shania
“Satu.....”
Angka di timer itu habis. Benang yang ada di pelatuk pistol
itu tertarik dan...
Crass....
Sebuah kapak jatuh tepat diatas kepala ibu Sezi. Darah muncrat begitu saja. Shania
berteriak histeris memanggil nama ibunya. Handphone yang sedari tadi
digenggamnyapun jatuh di lantai.
“Ibu!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!” teriak Shania sambil menangis
dan memeluk tubuh ibunya. “Ibu, ibu bertahan, bu! Ada Shania di sini! Ibu nggak
boleh tinggalin Shania sendirian!! Ibu... Tolong ibu! Bicara sama Shania . Shania
ada di sini.” Darah terus mengalir dari kepala ibu Shania. Shania yang memeluk tubuh
ibunya ikut terkena darah yang mengalir. Tapi Shania tak peduli. Ia hanya ingin
ibunya selamat. “Bu, tetap bersamaku. Shania yakin ibu masih kuat.” Tapi
percuma, tubuh ibu Shania sudah kaku dan menjadi mayat. “Ibu.... jangan
tinggalin Sezi.”
“Bagaimana Shania i? Ini adalah konsekuensinya jika kamu
menjawab terlalu lama.” kata si penelpon.
Shania mengambil handphone miliknya yang tergeletak di
lantai. Dan dengan emosi yang meluap-luap, ia memaki si penelpon.
“Puas? Puas kamu menghancurkan keluarga saya? Sekarang lekas
beritahu aku, siapa kamu sebenarnya!!!!” kata Shania sambil menangis karena
marah. Amarahnya tak terbendung lagi. Ia melihat ke sekelilingnya. Ternyata ada
tas stik golf di meja kerja ayah Shania. Shania mendekatinya.
“Hahahahahaha... Tak semudah itu. Untuk mengetahui siapa
saya, kamu harus menjawab satu pertanyaan terakhir dari saya.”
“Jawaban apa yang kamu mau??!!!!” teriak Shania i kesal.
“Pertanyaannya, saya ada dimana? Kini saya sendiri.
Petunjuknya, seekor ayam kecil sedang kebingungan mencari induknya. Ia
mencarinya hingga ke suatu tempat. Namun di tempat itu ada serigala dengan gigi
yang tajam sedang mengincar dirinya. Kamu punya waktu 5 menit, lebih dari
itu....” kata si penelpon terputus oleh kata-kata Shania.
“Bau apa ini??!” kata Shania sambil menutup hidungnya.
Baunya sangat busuk dan menusuk hidung.
“Kamu tahu kan apa yang akan saya lakukan jika kamu tak
berhasil menemukan saya? Kita akan mati berdua di sini. Bersama-sama....”
“Dasar pshyco!!!!” Tiba-tiba, Shania tahu dimana tempat
persembunyian si penelpon sakit jiwa itu. Ia mengambil tongkat golf ayahnya dan
berkata, “Tunggu aku, bangsat!” Shania membanting handphone miliknya ke lantai.
Handphone itu hancur berantakan.
Shania berjalan menuju dapur. Ayam kehilangan induknya, dan
bertemu serigala bergigi tajam berarti ayam yang akan dipotong oleh pisau dapur
yang tajam. Ditambah bau menusuk ini. Ini adalah bau gas! Jika Shania gagal
menemukannya, maka sang psikopat akan meledakkan rumah Shania. Membakar Shania i
hidup-hidup dengan gas ini.
Shania membuka pintu dapur. Ia bersiap akan memukul si
psikopat dengan tongkat golf yang ia bawa. Namun ternyata di dapur tak ada
seorang pun. Ternyata dugaan Shania salah, si psikopat bersembunyi dibalik pintu
dapur yang terbuka dari luar. Ia mulai menyerang Shania. Ia membekap mulut Shania dengan
tangannya. Tongkat golf yang ia pegang jatuh di lantai.
Si psikopat mengeluarkan pisau yang besar dan hendak menusuk
Shania. Mata Shania i terbelalak melihat pisau itu, besar, tajam, dan
mengkilat. Shania langsung menggigit tangan yang membekap mulutnya. Si psikopat
kesaiktan dan melepaskan tangannya dari mulut Shania. Pisau yang ia bawa jatuh
di lantai. Shania langsung berlari ke arah tempat cucian piring. Di sana ia
melihat ada banyak piring kotor yang belum dicuci. Tanpa menunggu panjang, ia
mulai melemparkan satu persatu piring itu ke arah psikopat bertopeng yang ada
di hadapannya.
“Rasain.. rasain ini!!!!” Shania melempar piring. Tapi orang
yang ada di hadapannya ini selalu menepis piring yang terbang ke arahnya.
Ketika piring di tempat cucian itu habis, Shania kebingungan mencari senjata
untuk mempertahankan hidupnya dari psikopat gila itu. Beruntung ia menemukan
sebuah garpu di sana.
Si psikopat itu terus berjalan ke arah Shania. Tanpa sengaja
kakinya menginjak pecahan piring yang berserakan di lantai. Ia berteriak
kesakitan. Lalu, ia meletakkan tangan kirinya di atas meja makan dan tangan
kanannya mencabut pecahan piring itu dari kakinya. Darah segar mengucur dari
kakinya.
Ketika si psikopat itu lengah, Shania langsung menusukkan
garpu yang dipegangnya ke arah tangan psikopat. Garpu itu menancap sempurna di
telapak tangan kiri psikopat yang sedang berada di atas meja. Ia kembali
berteriak kesakitan.
Shania kembali mencari barang untuk senjata di sekitarnya.
Ia menemukan sebuah teflon memasak yang tergantung di atas rak piring. Si
psikopat itu mencabut garpu yang ada di telapak tangan kirinya sambil menahan
rasa sakit yang luar biasa. Setelah tercabut, ia kembali melihat Shania. Pada
saat itu pula Shania memukul kepala psikopat itu dengan teflon tadi. Si
psikopat langsung ambruk ke lantai. Shania berhenti menyerang. Ia melihat
psikopat itu tak lagi berdaya. Mungkin ia sudah mati sebab Shania memukul
kepalanya dengan amat keras.
Shania penasaran siapa yang ada di balik topeng itu. Maka
dari itu, ia mendekat ke arah si psikopat lalu membuka topeng yang melekat di
wajahnya. Ia sangat terkejut ketika melihat wajah yang ada di balik topeng itu.
Ternyata, si psikopat itu adalah orang yang ia kenal selama ini. Namanya adalah
Dhike. Dia adalah teman satu kampus Shania yang sudah sejak 2 tahun lalu. Tapi
kenapa?
Tiba-tiba, tangan Dhike mencekik leher Shania. Shania
kehabisan nafas. Ia tak dapat bernafas dengan leluasa. Ia berusaha untuk
melepas tangan Dhike dari lehernya, tapi tak bisa. Cengkraman Dhike di leher
Shania terlalu kuat.
“Apa kabar Shania? Kamu masih ingat aku? Sebaiknya iya!!
Kamu yang sudah menghancurkan keluarga aku!! Gara-gara ayah dan ibu kamu,
perusahaan ayah aku jadi bangkrut sebab ayah kamu berbuat curang dengan
perusahaan ayah aku! Ayah kamu sengaja menarik para investor yang ada di
perusahaan ayah aku untuk menarik kembali sahamnya dari perusahaan ayah aku.
Lalu ayah kamu menyuruh mereka menanam saham yang besar itu ke perusahaan ayah
kamu! Nggak cuma itu, Shania,, sejak itu ayah ku sakit-sakitan dan ibuku pergi
meninggalkan kami entah kemana sampai ayahku meninggal Ini harga mahal yang
harus kamu bayar!!!!”
Shania semakin tak bisa bernapas. Matanya melotot. Dhike
semakin kuat mencekik leher Shania.
“Aku senang kamu melihat tak berdaya seperti ini! Dengan
begini, dendam aku terbalaskan!!!”
Akhirnya, Shania tak bernafas lagi. Badannya lemas dan
tergolek. Dhike melepaskan tangannya dari leher Shania. Ia tersenyum dingin
melihat Shania yang sudah tak bernyawa lagi.
“Hahahahahahaha..... Kasihan kamu Shania, padahal kamu ini
sangat cantik, tapi hati kamu dan keluarga kamu busuk!!!!!!!” Dhike mendekat ke
arah jazad Shania. Ia tak henti-hentinya tertawa dengan puasnya.
Tanpa Dhike sadari, tangan kanan Shania bergerak menuju
pisau yang tadi Dhike bawa yang jatuh di lantai.
Dhike menundukkan badannya untuk memastikan apakah Sahnia
sudah mati. Tiba-tiba, tangan kiri Shania memukul wajah Dhike dengan kuat. Dhike kebingungan.
“Memangnya, kamu saja yang bisa pura-pura mati tadi?”
Dengan cepat Shania menusukkan pisau itu ke punggung Dhike .
“Aku juga bisa.” kata Shania. Dhike yang kesakitan berteriak
lalu berdiri. Ia mencoba untuk mencabut pisau yang menancap di punggungnya.
Ketika itu, Shania mulai mencari sesuatu untuk senjata. Ia menemukan tabung
elpiji 3 kg yang selangnya sudah dipotong oleh Dhike. Mungkin bau itu berasa dari
ini.
Dhike berhasil mengambil pisau yang ada di punggungnya.
Namun, dengan ganas, Shania memukul kepala Dhike dengan tabung elpiji 3 kg itu. Tubuh Dhike
jatuh di lantai. Shania ingin memastikan bahwa Dhike haruslah sudah mati agar
ia tak dapat melukai dirinya lagi. Shania kembali memukul kepala Dhike dengan
tabung elpiji itu berulangkali.
“ Mati.. mati kamu!!!!” teriak Shania. Darah muncrat dari
kepala Dhike ke wajah Shania i. Shania terus memukul kepala Dhike dengan tabung
elpiji itu sampai kepala Dhike hancur dan tak berbentuk lagi. Akhirnya, Shania berhenti.
Nafasnya terengah-engah. Ya, semua ini berakhir. Shania menutup matanya
Author By : @kevin_pangkar
No comments :
Post a Comment
Leave a Comment...